Press "Enter" to skip to content
Dok. Arsip Perpustakaan Nasional

Mengenang Daoed Joesoef, Sang Menteri Multitalenta

Daoed Joesoef, mantan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan di era Orde Baru, wafat pada Selasa (23/1) pukul 23.55 WIB, dalam usia 91 tahun. Daoed adalah sosok menteri multitalenta yang pernah dimiliki negeri ini.

Daoed Joesoef lahir di Medan, Sumatera Utara, pada 8 Agustus 1926, dari pasangan Moehammad Joesoef dan Siti Jasiah, yang berasal dari Yogyakarta. Dia meraih gelar sarjana dari Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia.

Daoed menikah dengan Sri Sulastri dan dikaruniai seorang putri yang diberi nama: Sri Sulaksmi Damayanti.

Gelar doktor diraihnya di Universite Pluri-disciplinaire de Paris I, Pantheon-Sorbonne (1972) dengan beasiswa dari Ford Foundation, untuk bidang ilmu hubungan internasional dan keuangan internasional.

Sosok yang menguasai bahasa Belanda, Inggris, Jerman, dan Perancis, ini kembali ke Indonesia bersama Ali Moertopo, Soejono Humardhani dan Harry Tjan Silalahi. Saat di Perancis mereka suka berdiskusi dan wadah diskusi mereka menjadi institusi pemikir kebijakan publik Centre for Strategic and International Studies (CSIS).

Pada 1978, Presiden Soeharto menunjuk Daoed Joesoef menjadi Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud). Salah satu kebijakannya yang kontroversial namun terkenal hingga kini adalah Normalisasi Kehidupan Kampus/Badan Koordinasi Kemahasiswaan (NKK/BKK). Aturan ini menghapus kegiatan politik di kampus dan menghapus juga yang namanya Dewan Mahasiswa di seluruh universitas di Indonesia.

Daoed Joesoef juga pernah mengeluarkan larangan libur pada bulan puasa. Di samping, terkait dengan NKK/BKK, dia mengeluarkan SK yang mengatur bentuk dan susunan organisasi kemahasiswaan untuk mengontrol kegiatan mahasiswa.

Sosok ini juga dikenal sebagai seniman. Bakat melukisnya diasah sejak bergaul dengan seniman macam Nasjah Djamin, Affandi, dan Tino Sidin.

Sebagai penulis, Daoed Joesoef banyak menulis kolom di media massa. Dia pun menulis buku bertajuk Emak pada 2003, kisah tentang ibunya yang dianggapnya sebagai sosok paling berjasa bagi sang menteri.

Tak hanya buku, Daoed juga menulis cerpen. Semua karya tulis itu digarapnya dengan mesin tik. Alasannya, jika tidak mendengar suara mesin tik, idenya tidak keluar.

Be First to Comment

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Mission News Theme by Compete Themes.