Perjalanan menyusuri jalan-jalan kecil di timur Cirebon menuju Lemahabang tak terasa membosankan. Setelah melewati Setu Patok, selanjutnya adalah pemandangan persawahan luas, sesekali diselang-seling hutan-hutan kecil. Sungguh memanjakan mata.
Setelah berkendara kurang lebih 40 menit dari Kota Cirebon, sampailah kami di sebuah area penangkaran kura-kura bercangkang lunak. Ini memang lokasi yang kami tuju. Dari referensi yang ada, kura-kura di sini termasuk ke dalam spesies Amyda cartilaginea atau memiliki nama lain Asiatic softshell turtle.
Melihat morfologinya, saya jadi ingat labi-labi yang ada di daerah asal saya di Sumatera Utara sana. Pengurus penangkaran mengakui, nama lain kura-kura itu memang labi-labi.
Dari referensi yang ada diketahui bahwa Amyda cartilaginea bisa tumbuh sampai 70-80 cm panjangnya dengan bobot belasan kilogram. Tubuh kura-kura di Desa Belawa ini berwarna hitam keabu-abuan dengan bercak-bercak putih di kaki atau perutnya. Mulutnya seperti moncong runcing.
Area penangkaran itu teduh dari sinar matahari karena dinaungi pepohonan besar. Ada beberapa kolam besar yang kalau diperhatikan ada banyak kura-kura di dalamnya. Biaya masuk ke area ini cukup murah, hanya Rp2.000 per orang. Di luar parkir kendaraan.
Menurut Yanto, si pengelola penangkaran ini, kura-kura itu termasuk endemik di kawasan tersebut. Kura-kura dari Desa Belawa, begitulah nama populernya. Desa ini memang terkenal menjadi ‘rumah’ bagi populasi kura-kura tersebut. Tak hanya itu, keberadaan kura-kura itu juga diselimuti cerita tradisional yang sulit dipastikan kebenarannya.
Seperti yang diceritakan Ricky Hidayat, 26 tahun, salah satu pengurus penangkaran itu yang sudah bergaul dengan kura-kura itu sejak berusia 7 tahun. Dia menceritakan kisah seorang anak muda yang mukanya berbelang, yang ingin mencari kesembuhan kepada seorang guru agama di desa Belawa.
Oleh si pemuka agama dia justru diminta membaca kitab suci Quran. Lantaran dia cerdas, tak lama kemudian pemuda sudah bisa menghafal Quran, tapi tak juga sembuh. Karena galau, dia merasa apa yang dipelajarinya takkan bisa menyembuhkan. Dia pun khilaf dan merobek-robek Quran dan sobekannya ke mana-mana.
Setelah menyadari kesalahannya, si pemuda menyesal dan secepatnya berwudhu di sumur yang ada di desa itu dan meminta ampun kepada Tuhan. Rupanya setelah membasuh wajahnya, terjadinya mukjizat. Wajahnya tak lagi belang. Dia kemudian hendak mengumpulkan kembali sobekan-sobekan kitab suci, tapi yang ditemukannya malah kura-kura kecil di kolam sekitarnya.
Itulah cerita yang membuat kura-kura itu dikeramatkan oleh warga desa. “Ada pandangan kalau membunuh atau menjual labi-labi itu, bisa celaka,” tutur Ricky. Sumur dan batu tempat si pemuda bersujud juga dikeramatkan.
Terlepas dari kisah tersebut, penghormatan warga terhadap kura-kura tampak pada upaya mereka untuk melestarikan keberadaan kura-kura setelah sebuah bencana wabah melanda populasi kura-kura itu beberapa tahun lalu. Hampir semua kura-kura mati dengan tubuh penuh borok membusuk.
Tak mau kura-kura itu punah, warga pun mencoba menangkarkan kura-kura dan hasilnya luar biasa. Menurut Ricky, saat ini sudah ada total 800 ekor labi-labi yang dipelihara di penangkaran dan yang ada di empang milik warga desa, dari yang masih berupa tukik sampai yang tertua, yang usianya sekitar 50 tahun dan bobotnya puluhan kilogram.
Selain 800 ekor yang dipelihara, ada juga 300 butir telur yang siap ditetaskan di tempat penetasan khusus. Butuh waktu 100 hari untuk telur ditetaskan mulai dari dikeluarkan induknya sampai menetas jadi tukik. Telur-telur dan tukik-tukik diamankan di tempat khusus agar tak dimangsa predator macam biawak, yang cukup banyak di sana.
Pelestarian kura-kura yang dilakukan secara swadaya oleh warga Desa Belawa sungguh upaya yang patut diapresiasi. Namun saat ditanya apa peran kura-kura ini dalam ekosistem di desa itu, tak ada warga yang bisa menceritakannya. Tampaknya suatu hari mesti dilakukan penelitian biologi untuk mengetahui peran kura-kura itu.
Be First to Comment