Lebih dari 600 tahun yang lalu Chêng Ho jauh-jauh dari Tiongkok datang membawa satu armada besar yang sarat dengan barang-barang berharga produk Kekaisaran Tiongkok seperti kain sutra, keramik, barang-barang logam dan lain-lain. Mereka datang ke beberapa tempat di Nusantara membawa satu misi dari Kaisar Yung Lo yang kala itu baru berkuasa di Tiongkok. Misi yang dalam konteks kekinian dikenal dengan nama Diplomasi Kebudayaan. Hal yang perlu disampaikan dalam misi ini adalah memperkenalkan berkuasanya sebuah dinasti yang baru, yaitu Dinasti Ming, dan memulihkan perdagangan dengan kekaisaran Tiongkok yang sebelumnya mengalami kekacauan.
Untuk tujuan tersebut Kaisar Yung Lo memerintahkan Chêng Ho untuk membawa satu armada besar yang terdiri dari ratusan kapal besar dan kecil, ribuan pelaut, prajurit, juru masak, penterjemah, dan perbekalan untuk pelayaran. Berangkat dari satu pelabuhan di Tiongkok menuju ke arah selatan, pesisir Asia Tenggara, kepulauan Nusantara (Jawa dan Sumatera), India, Srilanka, hingga ke pesisir Afrika Timur. Besarnya armada (dagang) Kekaisaran Tiongkok ini sering diterjemahkan sebagai ekspedisi “Kapal Meriam”.
Jalur Pelayaran
Jalur yang dilewati armada Chêng Ho dimulai dari perairan sebelah selatan gugusan Kepulauan Natuna melalui Selat Karimata dan Kou-lan (Gelam). Dari sini terus menuju Chi-li-men (Karimunjawa), Pa-na (Jepara) tampak Gunung Muria, Na-ts’an (Lasem) dan Tu-pan (Tuban) terus menuju ke arah timurlaut Jawa ke Chi-li-shih/Ko-erh-hsi (Gresik) dan berlabuh di Su-lu-ma-i (Surabaya). Di Surabaya kapal berlabuh selama 4 bulan, di antara bulan Maret–Juli.
Dari Surabaya Chêng-ho kemudian melanjutkan pelayarannya dengan menggunakan kapal/perahu kecil melalui Sungai Mas hingga ke pelabuhan Chang-ku (Canggu). Dari Canggu perjalanan menuju kota Man-che-po-i (Majapahit) dilanjutkan dengan berjalan kaki. Demikian seperti yang dijelaskan oleh Ma Huan.
Pelayaran kemudian dilanjutkan dengan tujuan utama Chiu chiang (Pelabuhan Lama, Palembang) dengan jalur yang dilalui menyusuri pantai utara Jawa mulai dari Tan-mu (Demak), Wu chüeh (Pekalongan), Che-li-wen (Cirebon), Chia-lu-pa (Sundakalapa), kemudian melintasi (Selat Sunda) menuju Lan-pang (Lampung), melewati muara sungai Tu-lu Pa-wang (Tulangbawang), berlayar melintasi pulau San mai (Maspari, Lucipara) di pintu masuk sebelah selatan Selat Bangka, dan kemudian tiba di muara sungai Palembang di mana di sini berlabuh selama tiga hari.
Pelayaran dari Palembang dilanjutkan menuju Man-la-chia (Melaka) melalui Pulau Kuan (Pulau Berhala), San fo hsü (Pulau Alang Tiga), Pulau Ao Yü (Pulau Buaya), menyusuri pantai timur Sumatera di muara Sungai Kan-pa (Kampar) dan seterusnya tiba di Ma-la-chia (Melaka) untuk tinggal selama sebulan. Setelah tinggal selama sebulan di Melaka, pelayaran kemudian dilanjutkan ke A-lu (Aru), Kan-pei (Kumpai), Na-ku-erh (Nakur), Li-tai (Lide), Tan-yang (Tamiang), dan akhirnya berlabuh di dekat Su-men-ta-la (Kuala Pasai) selama enam minggu.
Dari pelayaran yang dilakukan Chêng Ho di Nusantara, kota-kota tempat dikunjunginya (dalam artian Chêng Ho turun ke darat) adalah Majapahit, Canggu, Surabaya, Gresik, Palembang, Aru, Samudra, Nakur, Lide, dan Lambri. Tempat-tempat lain yang disebutkan dalam buku pelayaran, hanya dilalui saja, tetapi pengaruhnya sangat terasa, seperti Tuban, Lasem, Semarang, Pekalongan, Cirebon, Kampar, dan beberapa kota di Sumatera.
Di kota-kota yang dikunjungi, Ma-huan mendeskripsikan keadaan kota yang meliputi, iklim dan curah hujan dalam setahun, bagaimana keadaan dan bentuk rumah tinggal, cara berpakaian dari penduduknya, kesenian dan budaya masyarakatnya, kalau ada komunitas Tionghoa disebutkan pula darimana provinsi asalnya di Tiongkok. Sebagai orang asing, tentu saja diceriterakan apa saja yang dihasilkan dari kota yang dikunjunginya itu, misalnya buah apa saja yang ada, hewan liar dan hewan peliharaan penduduk, di pasar apa saja yang dijual serta jenis matauang sebagai alat tukarnya.
Tionghoa di Palembang
Palembang sebagai kota dagang dan bekas ibukota Sriwijaya telah tenggelam dan tunduk kepada kekuasaan Majapahit setelah ekspedisi Tumasik tahun 1377-1397. Meskipun Majapahit telah menundukkan Palembang, tetapi tidak memperhatikan daerah yang telah ditaklukannya. Akibatnya, di Palembang terjadi kekacauan dan sempat menjadi sarang lanun yang dipimpin oleh Liang Tau-ming.
Mingshih buku 324 (1368-1643 Masehi) menyebutkan:
“Ketika San Fo Ji (San-fu-ch’i) mengalami kejatuhan, seluruh kerajaan menjadi kacau dan Chao-wa (Majapahit) tidak menghiraukan daerah taklukannya. Karena itulah Palembang dikuasai oleh seseorang dari Nan-hai (Canton) yang bernama Liang Tau-ming. Ia datang ke Palembang dengan membawa beberapa ratus orang yang berasal dari Fukien dan Canton”.
Sejak tahun 1397 Palembang telah dikuasai lanun Tionghoa yang datang dari Nan-hai (Guangdong). Kemudian pada tahun 1407 Palembang berhasil “dibebaskan” oleh armada Ming yang dipimpin oleh Chêng Ho. Lanun Nan-hai yang bernama Ch’en Zuyi berhasil ditawan dan dihukum pancung di hadapan Kaisar Tiongkok.
Sejak dibebaskan Chêng Ho pada tahun 1407 situasi Palembang kembali aman. Dalam masa itu Mugni diangkat menjadi penguasa di Palembang dengan gelar Sultan, dan mulai membangun kota yang telah hancur itu. Selama beberapa tahun hubungan Palembang dan Majapahit terputus. Hal ini disebabkan karena keadaan Majapahit sendiri sedang terjadi perebutan kekuasaan.
Sebagai daerah jajahannya, Palembang kurang mendapat perhatian. Kemudian ketika Majapahit dipegang oleh Brawijaya, Palembang mulai diperhatikan lagi. Pada tahun 1445 Raja Brawijaya Kĕrtabhumi kemudian mengirimkan Aria Damar ke Palembang untuk menjadi raja muda Majapahit. Namun penguasa inipun tidak kuasa membendung masuknya pengaruh Islam di Palembang, sampai akhirnya salah seorang bangsawan Demak yang lari ke Palembang dan membangun kerajaan yang bercorak Islam.
Pada masa Kesultanan Palembang-Darussalam, Palembang masih menunjukkan aktivitasnya sebagai sebuah kota dagang. Berbagai bangsa tinggal di kota ini. Pada masa ini telah dikenal penataan kota menurut cluster tertentu berdasarkan keahlian, jabatan, dan etnis dari penduduknya. Penamaan kampung didasarkan atas kelompok yang menghuninya. Pengelompokan berdasarkan cluster ini rupanya sudah sejak lama diterapkan oleh para penguasa Palembang, namun pada kala itu hanya didasarkan atas kelompok etnis, bukan keahlian atau jabatan dalam pemerintahan.
Sejak keraton dari Kerajaan Palembang-Islam masih di Kuto Gawang (abad ke-17 Masehi), penguasa pada waktu itu menempatkan penduduk asing di suatu tempat tersendiri, yaitu di daerah Seberang Ulu (sisi selatan sungai Musi). Bangsa dari Eropa, Arab, India, dan Tionghoa diketahui tinggal di daerah ini. Ketika Belanda diizinkan mendirikan loji, penguasa Palembang menempatkannya di muara Sungai Aur. Sebagai contoh permukiman orang asing yang masih tertinggal adalah Kampung Arab dan Kampung Tionghoa.
Pada masa Kolonial Belanda (setelah 1825), masing-masing kampung dengan kelompok etnisnya dipimpin oleh seseorang yang disebut Kapitan. Sebagai alat kelengkapan pemerintahan, maka setiap kelompok etnis diangkat seorang “Mayor”, “Kapitan”, atau “Letnan” yang diberi suatu kebebasan untuk mengatur pemerintahan di wilayahnya sendiri-sendiri. Mereka ini memberikan semacam upeti kepada pemerintah Hindia-Belanda.
Dari kelompok etnis Tionghoa, untuk pertama kalinya diangkat seorang Mayor pada tahun 1830. Mayor Tionghoa ini dikenal dengan nama Tjoa Kie Tjuan. Kemudian pada tahun 1855, putranya Tjoa Ham Hin hanya menyandang predikat “Kapiten”, suatu jabatan satu tingkat di bawah Mayor. Wilayah kekuasaannya terletak di daerah sekitar 7 Ulu. Di kawasan ini terdapat kompleks perumahannya dengan halaman yang luas. Di sekitarnya terdapat bangunan-bangunan yang berarsitektur campuran Eropa, Tionghoa, dan Palembang, serta sebuah sarana peribadatan yang dikenal dengan nama wihara 10 Ulu.
Budaya Materi
Di Palembang dikenal kerajinan dari kayu yang bernama lakuer. Sebuah kayu dibentuk menjadi sebuah wadah yang berupa kotak, mangkuk, dan rantang. Kata lakuer (bahasa Inggris: lacquer) berasal dari kata lac, yaitu nama bahan damar yang dihasilkan oleh sejenis serangga yang bernama Laccifer lacca.
Tumbuhan ini banyak ditemukan di Jepang, Tiongkok, dan di daerah Pegunungan Himalaya. Pada umumnya kayu yang telah dibentuk tertentu dilapis dengan lak atau pelitur. Namun di Palembang wadah atau bentuk-bentuk tersebut bagian luarnya dilukis dengan gambar-gambar flora dan fauna yang hanya ada dalam alam mitologi Tiongkok seperti burung hong dan kilin. Kerajinan membuat barang lakuer (lacquer ware) berasal dari daratan Tiongkok yang datang ke Palembang entah sejak kapan. Di tempat lain di Indonesia kerajinan lakuer tidak diproduksi. Dengan demikian, kerajinan lakuer di Indonesia merupakan kerajinan khas Palembang yang awalnya dibawa dan dikembangkan oleh orang-orang Tionghoa.
Lakuer atau pengerjaan lakuer untuk pertama kalinya dilakukan di Tiongkok, tetapi kemudian diproduksi secara besar besaran di Jepang. Menurut sumber Tionghoa dari masa Dinasti Ming (1368-1644 Masehi), lakuer pada mulanya dipakai untuk menulis pada batang bambu. Pada masa Dinasti Chou (1027 256 Sebelum Masehi) tempat tempat makanan pada mulanya dibuat dari lakuer. Pada masa berikutnya lakuer dipakai untuk menghias tandu dan kereta kereta kecil. Motif hias yang dipakai orang Tionghoa adalah motif hias flora dan fauna. Untuk motif hias fauna, yang digambarkan adalah binatang di dalam mitos Tionghoa, yaitu naga, burung hong dan kura kura.
Pengaruh budaya Tionghoa juga tampak pada bentuk-bentuk atap bangunan rumah tinggal dan masjid di Palembang. Pada bubungan atap bangunan terdapat hiasan seperti tanduk kambing. Masjid Agung Palembang yang dibangun pada abad ke-18, selain bentuk hiasan atapnya, bentuk menara masjid mirip dengan bentuk menara pada bangunan wihāra orang Tionghoa. Pada tiang-tiang rumah bagian dalam, serta penyekat ruangan diberi hiasan ukiran khas Palembang dan gambar-gambar yang dibuat dengan teknik lakuer berwarna hitam, merah kesumba, dan kuning emas. Perabot rumah yang melekat pada dinding juga diberi hiasan lakuer.
Teladan Chêng Ho
Ekspedisi laut Laksamana Chêng Ho dapat diinterpretasikan dari segi ideologi Konfusianis dan sistem hubungan luar negeri yang dianut Dinasti Ming. Prinsip yang dianut Dinasti Ming dalam berhubungan dengan dunia luar, sesuai dengan ajaran Konfusius mengenai pelapisan masyarakat dan pelapisan geografi dengan Tiongkok sebagai “negeri pusat dunia” (Zhongguo), adalah hubungan major dan minor atau hubungan atasan-bawahan. Praktek itu didasari atas persepsi bahwa di alam semesta ini kebudayaan paling luhur adalah kebudayaan Tionghoa dan negara di luar Tiongkok harus menghormati keluhuran kebudayaan Tionghoa. Oleh karena itulah sampai adanya intrusi kolonialisme Barat, Tiongkok tidak mengenai sistem hubungan dengan wilayah luar yang didasarkan pada kesama rataan atau yang dikenal sebagai “duduk sama rendah berdiri sama tinggi.” Konsep itu diperkuat dengan fakta pada masa itu bahwa sampai kedatangan kolonialisme Barat pada pertengahan abad ke-19, Tiongkok adalah satu-satunya kekuatan militer dominan di kawasan Selatan.
Diplomasi sistem kuno itu disebut sebagai “sistem hubungan tributer” (tributary relationship) atau diplomasi membayar upeti. Akan tetapi untuk menancapkan dominasi kebudayaan dan kekuatan militer itu Tiongkok tidak menggunakan otot militernya. Buat suatu kekaisaran yang memerintah Tiongkok, sudah cukup baginya apabila para penguasa atau raja-raja lokal mengakui keluhuran kebudayaan dan tunduk pada dominasi militer Tiongkok. Caranya dengan datang atau mengirim utusan ke kera¬ton Tiongkok untuk melakukan penghormatan kepada kaisar. Salah satu ritual yang tidak terpisahkan adalah, mempersembahkan upeti berupa benda-benda atau produk unik dari pemerintah lokal itu. Untuk memelihara sistem itu sesekali keraton Tiongkok juga mengirim utusan ke luar atau mengirim armada laut buat menunjukkan keperkasaan militer atau untuk menghukum para penguasa lokal yang tidak mau tunduk kepada keluhuran kebudayaan dan keperkasaan kekuatan militer Tiongkok. Ketujuh pelayaran Chêng Ho (lima di antaranya singgah di beberapa tempat di Nusantara) merupakan bagian dari diplomasi ini.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa ketujuh pelayaran Chêng Ho itu dapat dikategorikan dalam pengertian modern sebagai suatu diplomasi kebudayaan. Chêng Ho adalah seorang laksamana yang memimpin puluhan ribu tentara laut dan armada yang sangat kuat untuk ukuran masa itu. Kalau saja mau, ia dapat menggunakan kekuatan militernya untuk menancapkan dominasi Kekaisaran Ming dengan kekerasan. Namun, ia tidak menggunakan kekuatan militer yang ada di tangannya itu. Ia adalah seorang penganut mutikulturalisme. Prinsip itu dibuktikan dengan adanya tempat-tempat pemujaan terhadap dia sebagai seorang Muslim dan seorang penganut Konfusianisme. Profesor Hembing Wijayakusuma (2005), tokoh masyarakat dan ahli mengenai Chêng Ho serta Ketua Yayasan Chêng Ho mencatat paling tidak adanya 10 tempat bersejarah yang tersebar di seluruh Indonesia yang menunjukkan percampuran antara budaya lokal, Islam dan budaya Tionghoa.
Bagaimana pelayaran Chêng Ho itu kita kaitkan dengan zaman kita hidup sekarang ini? Dengan berakhirnya Perang Dingin konsep yang dianut oleh negara-negara besar adalah memaksakan sistem nilai (value system) mereka untuk dianut juga oleh negara-negara lain. Dengan demi¬kian kemungkinan terjadinya konflik kebudayaan seperti yang ditengarai Huntington makin lama makin mendekati kenyataan (1996). Konflik di Irak, Afghanistan, Timur Tengah, dan terorisme terjadi karena tidak tercapainya saling mengerti dan saling menghargai di antara berbagai kebudayaan. Manusia modern harus belajar dari “diplomasi kebudayaan” yang dipraktekkan Chêng Ho pada awal abad ke-15 atau lebih dari 600 tahun yang silam.
Tidak semua tempat di sepanjang jalur pelayaran Chêng Ho disinggahi oleh armada besar itu. Kota-kota yang disinggahi adalah Gresik, Surabaya, Canggu, dan Majapahit yang semuanya ada di wilayah Provinsi Jawa Timur. Dari kota-kota ini, dalam pelayarannya menuju Palembang di Provinsi Sumatera Selatan, armada itu melalui kota-kota Tuban, Lasem, Jepara, Semarang, Cirebon, Sundakalapa (Jakarta), dan daerah Lampung (Tulangbawang). Selanjutnya, dari Palembang pelayaran dilanjutkan ke Melaka, Aru (Deli), Nakur (Pendada, Sumatera Utara), Lide (Meureudu), Samudra (Lhokseumawe), dan Lambri (Banda Aceh) dengan tempat-tempat yang dilalui Pulau Berhala (Jambi), Pulau Alang Tiga, muara sungai Kampar, Pulau Kundur, Kepulauan Karimun, dan Pulau Buaya.
Khusus untuk Palembang saya mengusulkan lebih spesifik dari tempat-tempat lain yang dikunjungi Chêng Ho di Nusantara (kecuali di Jawa Timur), karena Palembang mempunyai nilai lebih. Chêng Ho datang ke Jawa Timur karena disitu terdapat kerajaan Man-che-po-i (Majapahit) dan secara spesifik disebutkan dalam Ying-yai Shêng-lan. Chêng Ho beserta rombongannya disebutkan menghadap Raja Majapahit. Sementara itu, sebelum dan setelah kunjungannya ke Majapahit, Chêng Ho secara khusus merapat di pelabuhan Chiu-kang (P’o-lin-pang, Palembang). Implikasi dari kunjungannya ke Palembang, dalam konteks kekinian berkembangnya hasil budaya campuran Tionghoa dan lokal (Palembang), banyaknya Muslim-Tionghoa yang tiap saat terus berkembang, dan dibangunnya sebuah masjid yang dinamakan “al-Islam Muhammad Cheng Ho Sriwijaya”
Bambang Budi Utomo
Be First to Comment