Plastik adalah jenis sampah yang sulit sekali terurai. Butuh waktu ratusan tahun untuk mengurai sampah plastik. Jadi kalau sampah plastik dibiarkan dan makin menggunung, tak terbayangkan seperti apa lagi pencemaran lingkungan yang terjadi. Kamu tahu, sampah plastik kadang mengandung material beracun yang akan sangat mencemari lingkungan.
Sudah tahu begitu, pembuangan sampah plastik ke alam sekitar tak juga berhenti. Malah, belakangan ini menjadi-jadi dan ramai jadi bahan pemberitaan. Khususnya kasus terungkapnya puluhan kontainer berisi sampah plastik impor. Impor? Yes, impor! Kok bisa ya, sampah plastik begitu diimpor?
Jadi, ceritanya memang rada panjang. Tapi intinya, sampah plastik diimpor bukan tanpa alasan. Sebab, sampah plastik bisa mendatangkan keuntungan lho. Apalagi kalau bisa diimpor secara ilegal.
Ceritanya, kasus sampah impor ini terkuak pertama kali oleh sebuah Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) lingkungan bernama Ecological Observation and Wetlands Conservation (Ecoton) dan The Party Department pada awal Mei 2019. Mereka menemukan 11 kontainer berisi sampah plastik impor yang dikirim ke Surabaya, Jawa Timur, dan sisanya ke Batam, Kepulauan Riau. Di Surabaya, sampah diselundupkan lewat impor scrap kertas. Sedangkan di Batam, sampah plastik diselundupkan melalui impor scrap plastik.
Status terkini setelah kasus ini terkuak, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) telah mengekspor balik lima kontainer sampah ke negara asalnya, yakni Amerika Serikat. Sementara itu, 11 kontainer sampah lainnya masih menunggu proses untuk dikembalikan ke negara asalnya.
Pertanyaannya, kok mau-maunya Indonesia jadi tempat pembuangan sampah negara-negara maju macam Amerika Serikat? Ya negara sih tak maulah. Hanya saja, ada saja segelintir pihak yang tak acuh dengan masalah lingkungan. Sebab, meski namanya sampah, ini sampah yang mendatangkan fulus.
Mereka bisa dapat ongkos buang dari negeri asal sampah, tanpa keluar biaya membawanya ke sini. Sebab, masuknya lewat jalur ‘belakang’. Diselundupkan bersama barang impor resmi.
Berdasarkan penuturan Direktur Eksekutif Ecoton, Prigi Arisandi, kepada Portal Sains, kemarin malam, Kamis (20/6), masalah sampah plastik ini ada kaitannya dengan kegiatan impor bahan baku kertas dari luar negeri, yang sudah berlangsung sejak 1980-an. Well, industri kertas kita memang membutuhkan bahan baku. Bahan baku yang dibutuhkan sebanyak 5 juta ton per tahun tapi bahan baku lokal yang tersedia hanya 3,5 juta ton. Sisanya harus diimpor, yang suplainya berasal dari 43 negara.
Tapi kemudian pada praktiknya, sampah plastik ikut diselundupkan, dicampurkan ke dalam bahan baku kertas. “Dalam regulasi kita, tidak boleh memasukkan sampah plastik ke dalam kertas. Tapi kami menemukan modus ini saat melakukan brand audit,” katanya.
Penyelundup diduga menyisipkan plastik ke dalam bahan baku kertas. Sebab, lazimnya, kontainer berisi bahan baku kertas menurut regulasi termasuk kategori green line, jadi Bea Cukai tidak akan memeriksa. Celah inilah yang dipakai importir untuk menyisipkan plastik ke dalam bahan baku kertas. “Seperti kuda troya, luarnya kuda tapi di dalamnya diisi sesuatu. Kelihatannya kertas tapi pada kenyataannya berisi plastik,” kata dia.
Mayoritas perusahaan bahan baku kertas melakukan impor. Dan dampak dari impor ini adalah adanya sampah plastik yang dapat mencemari lingkungan.
Praktik impor sampah dengan modus impor bahan baku kertas juga dikonfirmasi oleh Koalisi Persampahan Nasional (KPNAS). Seperti dikutip dari Republika.co.id, KPNAS menyebutkan izin impor bahan baku kertas kerap diwarnai pelanggan berupa penyusupan limbah zat berbahaya di dalam bahan baku kertas. Ditengarai ada sejumlah perusahaan yang menjalankan modus ini untuk mengeruk keuntungan berlipat dengan menerima jasa pembuangan sampah plastik tanpa memikirkan
Masalah sampah ini diduga ada hubungannya dengan kebijakan China tahun 2018 yang secara resmi memberlakukan penghentian impor sampah plastik dari sejumlah negara di Eropa dan Amerika. Akibatnya, sampah plastik pun beralih tujuan ke negara-negara ASEAN, termasuk Indonesia. Negara-negara lain di ASEAN pada akhirnya ikut melakukan pembatasan, tapi tidak dengan Indonesia. Dilansir dari VOA Indonesia, justru terjadi peningkatan impor sampah dari 10,000 ton per bulan pada akhir 2017 menjadi 35,000 ton per bulan tahun 2018. Sementara itu, peningkatan impor sampah plastik dari 124.433 ton tahun 2013 menjadi 283.152 ton tahun 2018.
Padahal, berbagai regulasi, baik nasional maupun internasional sudah ada untuk mencegah masuknya sampah plastik dan limbah berbahaya yang bisa mencemari lingkungan, ke Indonesia. Tapi pada praktiknya, sampah plastik semakin menjadi persoalan di Tanah Air meskipun di sisi lain, ada yang diuntungkan oleh sampah ini. Ada kelompok masyarakat yang menggantungkan hidupnya dari memilah sampah plastik dan menjualnya kembali, sebagai bahan pembuat biji plastik ataupun bahan bakar pabrik tahu dan krupuk di Jatim.
(Tentang dampak sampah plastik bagi lingkungan, silakan baca artikel Portal Sains ini)
Be First to Comment