Saya mulai penelitian di tanah Papua tahun 1974 di lembah Eipomek, Pegunungan Bintang, di tengah daerah Suku dan Bahasa Mek. Waktu itu di Eipomek masih menjalankan budaya prasejarah neolitikum.
Orang pedalaman sebetulnya didorong dari misionaris untuk memakai pakaian modern. Koteka dan badan telanjang dianggap sebagai dosa.
Orang pedalaman tanah Papua sendiri juga tidak mau lagi memakai koteka dan grass skort kecil untuk perempuan, karena mereka mau kelihatan modern seperti orang lain di Indonesia dan di dunia.
Orang Eipo dan Mek masih memakai koteka (sanyum) sebagai hiasan menarik. Tapi sekarang, kesadaran mereka akan sejarah sudah bangkit. Mereka tidak mau akar tradisinya hilang.
Di Eipomek laki-laki berdansa dengan koteka dan hiasan tradisionil, bahkan dalam pesta besar gereja! Saya merasa itu bagus.
Orang Papua menerima agama baru dan kehidupan modern, karena mereka mau termasuk ke dalam keluarga dunia. Untuk pakaian pesta, upacara, dansa tradisionil, masih ada tempat dan fungsi koteka dan pakaian dari budaya lama.
Itu sama seperti di Bavaria, Jerman Selatan dan semua bangsa di dunia. Budaya Jawa dalam masih menjadi yang paling halus di dunia.
Orang Indonesia punya problem besar dengan koteka. Sebab menurut sebagian besar masyarakat di luar Papua, koteka itu adalah simbol budaya kebelakangan.
Tapi menjadikan koteka seperti pakaian sehari-hari., saya pikir sulit diwujudkan. Koteka hanya akan bertahan sebagai pakaian tradisionil.
Kita harus memahami asal koteka dan pakaian serupa yang mementingkan penis (phallus). Pada mulanya ini bukanlah simbol kesuburan dan seksualitas tetapi simbol kuasa laki-laki. Di banyak budaya phallus ada unsur proteksi, perlindungan, karena simbol kekuasaan. Karena itu koteka dan pakaian serupa sering kali ada di budaya/masyarakat yang berperang, seperti juga di pedalaman Papua.
Penulis: Prof. Wulf Schievenhoevel (antropolog dan kepala departemen Human Ethology di Max Planck Institute)
Be First to Comment