Dalam berbahasa sehari-hari di Papua sangat unik, bahasa Indonesia dibuat jadi efisien mungkin, contohnya dua kata disingkat jadi satu kata. Sapu misalnya, bukanlah alat untuk membersihkan halaman tetapi ternyata singkatan dari “saya punya”. Sapi ternyata “saya pigi” atau saya pergi. Kopi mana? Ini berarti bukan kopi untuk diminum tetapi “ko atau kamu pergi kemana?”.
Begitupun nama sebuah kampung di Nabire, yang sangat begitu terkenal sebagai destinasi wisata hiu pausnya. Kampung ini terletak di Teluk Cenderawasih, bernama Kampung Kwatisore.
Kampung Kwatisore sangat sederhana, asri, banyak pohon kelapa dan pisang, hanya ada suara burung dan anjing berkeliaran bebas.
Ternyata nama kampung ini, berasal dari dua kata yaitu khawatir sore disingkat jadi Kwatisore.
Masyarakat kampung ini rata-rata bekerja sebagai nelayan atau petani di kebun. Kampung ini sering hujan, sehingga warga yang bekerja di kebun atau sedang melaut, akan segera kembali ke rumah menjelang sore, takut ada hujan besar.
Warga Kampung Kwatisore, sudah terbiasa dengan hujan di setiap sorenya, sehingga mereka akan menghindari beraktivitas sore hari di luar rumah atau bepergian pada sore hari.
Hal ini kadang tidak diketahui oleh para wisatawan yang berkunjung ke kampung ini.
Bagi masyarakat Kwatisore, ikan hiu paus adalah ikan adat yang tidak boleh dibunuh atau dimakan. Kadang mereka menyebut ikan ini sebagai ikan hantu, karena sering muncul tiba-tiba di samping perahu nelayan.
Penulis: Hari Suroto (arkeolog, tinggal di Jayapura) Bisa dihubungi di Instagram: @surotohari
Be First to Comment