Sebuah riset terbaru mendapati bahwa pengguna aplikasi di Asia Pasifik kebanyakan masih tak acuh pada keamanan data pribadi mereka. Dalam laporan terbaru F5 yang bertajuk Curve of Convenience 2020: The Privacy-Convenience Paradox itu didapati bahwa 43% orang Asia Pasifik berharap perusahaanlah yang wajib melindungi data mereka. Ada juga 32% yang menganggap itu tanggung jawab pemerintah.
Tingkat pencurian data pada masa pandemi COVID-19 ini cukup tinggi. Baru-baru ini perusahaan e-commerce besar di Indonesia sudah mengalaminya. Masalahnya, banyak pengguna aplikasi yang abai alias tak acuh pada keamanan data pribadi mereka. Padahal data pribadi ini, kalau sampai bocor ke tangan pihak yang tak bertanggung jawab, bisa disalahgunakan lho.
Beberapa poin menarik dari laporan itu adalah:
• Sebagian besar konsumen Asia Pasifik menyerahkan tanggung jawab keamanan ke perusahaan dan pemerintah. Sebanyak 43% responden di Asia Pasifik dan 57% di Indonesia meyakini tanggung jawab ini terletak di tangan perusahaan. Sementara 32% di Asia Pasifik dan 23% di Indonesia merasa hal tersebut adalah tanggung jawab pemerintah. Hanya 25% responden Asia Pasifik dan 20% di Indonesia yang merasa tanggung jawab keamanan terletak di tangan penggunanya.
• Sebanyak 69% pengguna di Asia Pasifik, rata-rata, mengorbankan privasi mereka demi pengalaman yang lebih baik. Responden dari Indonesia (79%), China (82%), dan India (79%) tercatat sebagai yang paling rela berbagai data. Sedangkan responden Jepang (43%), Australia (50%), dan Singapura (58%) adalah yang paling tidak rela mengorbankan data demi pengalaman yang mulus.
• Lebih dari seperempat pengguna tidak menyadari terjadinya pembobolan. Sebanyak 27% responden Asia Pasifik mengindikasikan mereka tidak menyadari terjadinya pembobolan meski yang menjadi sasarannya adalah instansi pemerintah atau aplikasi yang banyak digunakan.
• Pengguna di masa kini tidak mengubah perilaku mereka setelah terjadi pembobolan keamanan namun kepercayaan mereka terhadap perusahaan dan industrinya menurun. Hanya 4% responden Asia Pasifik, demikian pula dari Indonesia, berhenti menggunakan aplikasi setelah terjadi pembobolan. Namun, terjadi penurunan kepercayaan terhadap perusahaan, dengan perusahaan media sosial mengalami penurunan terbanyak yakni 19 poin persentase.
Ankit Saurabh, Assistant Lecturer di School of Engineering and Technology, PSB Academy, mengatakan situasi new normal telah menyebabkan aplikasi online untuk perbankan, hiburan, belanja, dan layanan antar makanan telah menjadi cara utama kita mengakses barang dan jasa. “Dalam situasi yang krusial seperti ini, perusahaan-perusahaan harus bekerja dengan lebih keras dalam membenahi kekuatan keamanan mereka untuk melindungi data pelanggan dan internal perusahaan,” kata dia.
Agar terus bisa kompetitif dalam kondisi seperti ini, berbagai perusahaan harus terus menyediakan pengalaman digital yang unik, berperforma tinggi, dan aman secara konsisten sembari memenuhi persyaratan dan kewajiban keamanan yang rumit. Mereka juga harus memastikan pengalaman pengguna yang nyaman, mulus, dan mudah digunakan.
Guna mencapai tujuan ini, perusahaan-perusahaan harus berkaca pada sumber daya yang belum mereka sentuh, yakni para pelanggan. Soalnya, laporan Curve of Convenience 2020 menunjukkan, 27% responden bahkan tidak menyadari terjadinya pembobolan pada situs pemerintah atau aplikasi yang banyak mereka gunakan.
Sehingga, sangat penting untuk memperlakukan pelanggan seperti sekutu dalam mencapai tujuan bersama untuk pengalaman digital yang menyenangkan dan aman. Pengguna, jika dibekali dengan informasi yang tepat, bisa meningkatkan kewaspadaan mereka untuk berbagi data atau bahkan menuntut transparansi mengenai bagaimana data mereka akan digunakan.
Be First to Comment