Sebaran populasi king cobra (Ophiophagus hannah) cukup luas di Benua Asia. Penelitian mendapati, perbedaan geografis ini ternyata juga menentukan tingkat kematian yang disebabkan oleh bisa ular itu dan tingkat efektivitas antivenom-nya.
King cobra bisa ditemukan di berbagai habitat, bahkan sampai di dataran tinggi 2.000 mdpl, mulai dari Asia Tenggara, China bagian selatan, sampai sebagian dari subkontinen India. Habitatnya bermacam-macam, dari mulai hutan, perkebunan sawit, hutan bakau, sampai lahan pertanian, di mana mangsanya banyak ditemukan, yaitu ular kobra atau ular yang lain, sebab king cobra dikenal juga sebagai ophiophagic alias si pemakan ular.
King cobra bisa tumbuh sampai 4 meter dengan gigitan yang sangat mematikan. Dia mampu menyuntikkan lebih dari 1 gr bisa per gigitan. Bisa atau racun king cobra mengandung cytotoxins dan neurotoxins, termasuk alpha-neurotoxins dan three-finger toxins. Komponen lainnya adalah cardiotoxic effects. Bisanya akan menyerang sistem saraf pusat, menyebabkan rasa sakit yang hebat, penglihatan buram, vertigo, paralisis, cardiovascular, koma, dan akhirnya dapat meninggal dunia. Oleh sebab itu, harus segera diberi antivenom.
Berdasarkan penelitian tim dari Daha Husada Hospital Kediri, Indonesia; Universitas Malaya di Malaysia; dan Queen Saovabha Memorial Institute di Thailand, sampai saat ini penanganan korban gigitan ular biasanya dilakukan dengan memberikan antivenom. Tapi berbeda dengan obat lain, produksi antivenom ular dibatasi oleh keberadaan spesies dan distribusi geografis dari ular itu sendiri.
Antivenom dari satu spesies ular juga tidak akan efektif menangani gigitan dari spesies ular lain dan pada beberapa kasus, meski spesiesnya sama tapi kalau asal geografisnya berbeda, efektivitas antivenom-nya juga berbeda. Soalnya, tingkat kematian (lethality) bisa/racun king cobra (King Cobra Venoms – KCV) juga berbeda-beda menurut asal geografis ularnya.
Dalam penelitian yang diterbitkan di jurnal Acta Tropica edisi Maret 2020 itu, ditemukan bahwa KCV di Indonesia dan China lebih mematikan ketimbang di Thailand dan Malaysia. Mereka melakukan pengujian pada tikus. Perbedaan ini, menurut peneliti, menunjukkan adaptasi ular-ular mematikan ini pada berbagai kondisi ekologis di mana mereka hidup dan interaksi predator-mangsa yang ada di habitatnya.
Be First to Comment