Lobster memiliki daging yang lezat, gurih, dan berprotein tinggi. Banyak orang menyukai krustasea ini sehingga demand-nya cukup tinggi walau hargaya terbilang mahal. Tapi kalau terus menerus diambil dari alam, populasi lobster akan terancam. Di sinilah peran pembudidayaan benur lobster menjadi penting.
Peneliti Pusat Penelitian Oseanografi (P2O) Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Rianta Pratiwi pernah menyatakan bahwa Indonesia adalah penghasil lobster terbesar di mana lobster bisa ditemukan pada hampir seluruh perairan Indonesia, dari pantai barat Sumatera ke pantai timur Papua. Penelitian ini diterbitkan jurnal Biosfera edisi Januari 2018 lalu.
Lobster (Panulirus spp.) adalah krustasea dari yang memangsa gastropoda dan alga. Satwa ini termasuk nokturnal alias aktif mencari makanan pada malam hari. Untuk mencegah penurunan populasi lobster di alam akibat penangkapan tak terkendali, LIPI melakukan pembudidayaan lobster, khususnya pada tahap pembesaran. Ini merupakan upaya LIPI dalam menyelamatkan biota laut itu.
Tahapan pembudidayaan lobster ada tiga, yaitu pembenihan, pendederan, dan pembesaran. “Tahap pembenihan, terjadi proses kawin antara lobster jantan dan betina sampai menghasilkan bayi lobster,” kata Varian Fahmi, Peneliti dari BBIL LIPI, seperti dilansir Lipi.go.id.
Lobster berkembang biak dengan kawin. Setelah telur-telur dibuahi oleh sperma dari lobster jantan, telur tersebut akan diletakkan di bawah perut lobster betina, menempel pada kaki renangnya. Telur yang dierami akan mengalami perubahan warna dari merah jingga menjadi merah gelap. Namun tahap pembenihan cukup rumit dan LIPI belum mengetahui pakan kondisi lingkungan yang paling cocok untuk bayi lobster.
Pada tahap pemeliharaan benur lobster, Varian dan tim peneliti memanfaatkan Keramba Jaring Apung (KJA). KJA dapat terbuat dari bambu atau kayu yang diberi pelampung, sehingga dapat mengapung di atas permukaan air laut. Rakit tersebut berbentuk persegi dan di tiap sudut diberi tali ukuran 22 mm yang diikatkan pada jangkar di dasar laut. Pada bagian tengah dari rakit dibuat petak-petak agar wadah pemeliharaan dapat digantungkan.
“KJA yang kami gunakan saat ini bukan yang terbat dari kayu atau bambu, melainkan HDPE (High-density polyethylene), yaitu bahan polimer termoplastik yang terbuat dari proses pemanasan minyak bumi. Harganya memang lebih mahal, tapi lebih awet bisa hingga 10 tahun,” tutur Peneliti Muda lulusan Pascasarjana Institut Teknologi Bandung, itu.
Lokasi KJA tempat pemeliharaan benur lobster umumnya terletak di teluk yang mempunyai pertukaran air bagus dan terhindar dari gelombang tinggi. KJA juga harus terletak jauh dari sungai untuk menghindari fluktuasi salinitas air laut, terutama pada saat musim hujan.
Benur lobster dipelihara dalam wadah-wadah yang terbuat dari jaring/waring. Untuk benur lobster yang masih kecil, wadah pemeliharaan menggunakan jaring dengan ukuran mata 4 mm. Wadah pemeliharaan juga dapat menggunakan jaring trawl dengan ukuran yang lebih besar (3,5 cm). Jaring ini biasanya digunakan untuk pemeliharaan lobster dengan ukuran >400 gr.
Sebagai kelompok hewan krustasea, lobster akan tumbuh dengan cara berganti kulit. Lobster yang baru berganti kulit sangat rentan terhadap serangan dari lobster lainnya karena tidak dapat bergerak secara aktif. Oleh karena itu diperlukan tempat berlindung (shelter) di dalam wadah pemeliharaan lobster. Shelter ini terbuat dari jaring ukuran mata 4 mm yang dilipat secara tidak beraturan sehingga membentuk beberapa rongga. Rongga ini nantinya akan ditempati oleh benur lobster.
Lobster muda atau juvenil lobster hasil tangkapan dari alam yang dipelihara di KJA masih tidak berwarna (transparan). Bobot juvenil lobster yang masih transparan tersebut berkisar antara 0,2 – 0,3 g. Pada tahap ini kepadatan benur lobster di dalam wadah pemeliharaan dapat mencapai 20 – 30 ekor/m2. Pada saat lobster tersebut semakin besar, kepadatan dalam wadah harus dikurangi untuk mengurangi terjadinya kematian akibat kanibalisme.
Pakan utama lobster di alam adalah hewan krustasea kecil, moluska dan cacing. Sebenarnya, hewan ini termasuk dalam golongan hewan pemakan segala (Omnivora). Makanan utamanya adalah hewan dari golongan bivalvia. Pada kegiatan pembesaran dengan menggunakan sistem KJA, anakan lobster diberi pakan berupa potongan daging ikan rucah dan tambahan nutrisi berupa pelet udang. Pemberian pakan dilakukan dua kali dalam sehari agar pertumbuhannya optimal.
Lobster juga bisa terserang penyakit. Beberapa jenis penyakit yang dapat menyerang lobster: (1). Milky Disease; Milky Haemolymph Disease, penyebabnya adalah bakteri, gejalanya adalah bagian otot ekor berwarna putih susu, berkurangnya nafsu makan, pertumbuhan rendah, menyebabkan kematian; (2). Black gill, penyebabnya adalah fungi, gejalanya adalah insang berwarna hitam, nafsu makan berkurang, pertumbuhan rendah, beberapa dapat menyebabkan kematian; (3). Red body, penyebabnya adalah bakteri, gejalanya adalah warna tubuh menjadi kemerahan, nafsu makan berkurang, pertumbuhan rendah, beberapa dapat menyebabkan kematian.
Peneliti Ahli dari BBIL LIPI, Sigit Anggoro Putro Dwiono, mengatakan bahwa budidaya lobster di Indonesia masih berupa rintisan. Permasalahannya adalah infrastruktur (sarana pemeliharaan berupa rakit dan jaring) cukup mahal, pakan masih mengandalkan ikan rucah (belum ada pakan buatan) yang harganya sangat fluktuatif (5.000 – 15.000/kg) tergantung musim.
Food Conversion Rate (FCR) juga masih kurang bagus, sekitar +/- 20 kg pakan hanya menghasilkan 1 kg lobster sehingga kurang menguntungkan. “Harga jual lobster di tingkat nelayan relatif murah karena via pengepul dan rantai perdagangannya yang panjang. Oleh karena itu jumlah pembudidaya dan sarana yang tersedia hanya sedikit,” kata Sigit.
Be First to Comment