Apakah kamu termasuk yang sangat takut kepada hewan-hewan seperti laba-laba, kalajengking, atau kutu? Jangan-jangan kamu termasuk kelompok orang yang fobia terhadap arachnid atau biasa disebut arachnophobia. Salah satu cara menangani fobia ini, nonton saja film Spiderman.
Arachnophobia berasal dari bahasa Yunani arachne yang artinya laba-laba dan phobos, yang berarti takut.
Di Amerika Serikat, menurut Live Science mengutip American Psychological Association, ada 10 juta orang yang menderita berbagai jenis fobia dan 40 persen fobia ini berkaitan dengan hewan kecil seperti serangga, ular, dan laba-laba.
Mengapa laba-laba dan hewan-hewan berkaki delapan ini bisa menimbulkan fobia?
“Kita tahu bahwa banyak spesies laba-laba yang berbisa dan menggigit dan kita tahu ini baik dari pengalaman langsung, maupun dari sains dan biologi, TV, dan melihat orang lain yang digigit,” kata Dr. Alan Manavitz, psikiater klinis di RS Lenox Hill di New York City. “Sehingga, ketika kita melihat laba-laba di dekat kita, respons alami kita adalah merasa takut dan menghindari laba-laba itu.”
Ada teori yang mengatakan ini soal nurture. Fobia ini lebih tinggi di AS ketimbang di Kamboja di mana tarantula dan kalajengking dianggap sebagai makanan.
Teori lainnya menyatakan bahwa ketakutan kita terhadap arachnid itu telah membantu nenek moyang kita bertahan hidup pada masa lalu. Namun, walaupun kebanyakan laba-laba memiliki bisa, hanya sedikit laba-laba yang benar-benar memiliki taring yang cukup besar untuk menembus kulit kita.
Dari 35.000 spesies laba-laba di dunia, hanya selusin di antaranya yang berisiko bagi manusia. Psikolog evolusioner menduga bahwa nenek moyang kita mungkin tidak tahu gigitan laba-laba mana yang akan membahayakan, sehingga mereka mengembangkan rasa takut terhadap semua laba-laba. Dan beberapa penelitian mendukung hipotesis ini.
Peneliti di Institut Max Planck pernah menunjukkan gambar laba-laba, bunga, ikan, dan ular, kepada sekelompok bayi. Pupil di mata bayi melebar paling besar saat mereka diperlihatkan gambar laba-laba dan ular. Para peneliti mengatakan ini menunjukkan orang secara inheren mengembangkan ketakutan terhadap makhluk seperti itu.
Sebuah studi tahun 2016 yang diterbitkan dalam jurnal Biological Psychology menemukan bahwa arachnophobia juga melebih-lebihkan ukuran laba-laba yang bersentuhan dengan mereka. Studi ini mendapati bagaimana persepsi bahkan fitur dasar seperti ukuran dipengaruhi oleh emosi, dan menunjukkan bagaimana kita masing-masing mengalami dunia dengan cara yang unik dan berbeda.
Jadi ada apa pada laba-laba sehingga memicu rasa takut kita? Semuanya bermuara pada “emosi jijik,” menurut Psychology Today. Ada yang menyalahkan bulu tarantula, ada yang bilang bisa laba-laba. Ini semua menunjukkan bahwa alih-alih rasa takut, yang mungkin dirasakan orang sebenarnya adalah rasa jijik.
Seperti apa gejala yang dialami orang yang menderita arachnophobia saat melihat laba-laba? Fobia ini dapat memicu sejumlah reaksi fisik, termasuk mual, detak jantung yang dipercepat, dan pupil yang melebar. Reaksi lain adalah kerutan hidung (dianggap membantu mencegah bau busuk dan patogen masuk) dan mengerutkan kening.
Bagaimana mengatasinya? Terapi eksposur dianggap sebagai penanganan yang paling berhasil. Dalam terapi eksposur, pasien dengan fobia dihadapkan pada hal yang mereka takuti – dalam hal ini, laba-laba – dalam pengaturan yang aman dan terkendali. Sehingga pasien dapat ‘mereset’ otak mereka, dan menciptakan “memori aman baru yang berada di otak [mereka] di samping memori buruk,” tulis kolumnis opini Richard A. Friedman untuk The New York Times.
Nonton film “Spiderman” ternyata bisa membantu juga. Sebuah studi tahun 2019 yang diterbitkan di jurnal Frontiers in Psychiatry mendapati bahwa menonton klip video dari film Spider Man atau Ant Man telah membantu penderita fobia ini mengatasi kondisi mereka.
Teknologi telah menjadi semakin penting sebagai penanganan arachnophobia. Ketika virtual reality menjadi semakin populer, para ilmuwan mencari cara untuk meredam dan bahkan menyembuhkan efek arachnophobia dengan memanfaatkan dunia virtual.
Be First to Comment