Press "Enter" to skip to content
Hewan-hewan di zaman es, termasuk mammoth (dok. commons.wikimedia.org/auricio Antón)

Bagaimana Manusia Menyimpan Makanan Sebelum Kulkas Ditemukan

Kulkas adalah perangkat teknologi yang diciptakan pada zaman modern. Pada masa lalu, bagaimana manusia menyimpan sisa makanannya agar tahan lama?

Pengawetan makanan dengan pendinginan adalah teknik yang modern. Selama ribuan tahun orang sudah menemukan berbagai teknik pengawetan makan yang bertujuan untuk memperlambat pertumbuhan mikroorganisme yang membuat makanan membusuk. Selain pendinginan, praktik pengawetan lainnya adalah penggaraman, pengeringan, pengasapan, pengawetan, dan fermentasi.

Nah, bagaimana dengan makanan yang tersisa, bagaimana cara manusia masa lalu menyimpannya, sebelum ditemukannya kulkas atau teknik pendinginan?

Ternyata manusia purba dari masa berburu dan mengumpulkan makanan telah mengetahui teknik kreatif untuk memperpanjang masa simpan makanan mereka.

Pada saat mammoth masih berkeliaran di Amerika Utara, pada 11 ribu tahun lalu, kaum pemburu dan pengumpul makanan ternyata menyimpan sisa mammoth yang tidak bisa dihabiskan sekali makan, ke dalam kolam untuk diolah nanti. Bukti ini ditemukan dari penelitian dan penggalian arkeologi di Michigan tahun 2015.

“Kolam itu menyediakan tempat untuk menyimpan bagian-bagian hewan yang mereka makan,” kata Daniel Fisher, seorang profesor dan kurator di Museum Paleontologi Universitas Michigan, seperti dikutip Live Science. “Apa alternatifnya ketika mereka harus melindungi makanannya dari predator dan pemulung lain?”

Sisa mammoth itu sengaja ditempatkan di kolam kecil dan dangkal yang banyak ditemukan di lanskap pascaglasial Upper Midwest. Tapi pengawetan daging bukan karena air. Tepatnya sebagian besar merupakan kerja keras bakteri yang bernama Lactobacilli. Ini adalah bakteri yang hidup di air.

Lactobacilli memproduksi asam laktat, produk sampingan kimiawi dari respirasi anaerobik. Bakteri mengkolonisasi daging, dan asam laktat mempertahankan massa otot. Suhu rendah di air dan kandungan oksigen yang rendah di air kolam ikut membantu proses pengawetan.

Fisher meyakini perburuan kemungkinan besar terjadi di musim gugur. Hewan yang mereka tangkap disembelih di tempat dan potongan-potongan besar disimpan di kolam kecil di dekatnya. Dengan cara ini dagingnya tetap bisa dimakan sampai musim panas berikutnya.

Fisher telah melakukan eksperimen menggunakan rusa, domba, dan bahkan kuda. Dia menemukan bahwa daging itu masih dapat dimakan (setelah dimasak terlebih dahulu untuk membunuh bakteri berbahaya yang mungkin tinggal di dalam daging), bahkan setelah berbulan-bulan terendam di kolam kecil yang dingin. “Asam laktat juga melunakkan daging,” kata Fisher. “Bahkan memberikan aroma dan rasa yang kuat, seperti keju Limburger. Itu membuat makanan yang menarik.”

Tapi tak semua orang memiliki kolam atau danau kecil dekat tempat tinggal mereka, bukan? Nah, cara lain yang dikembangkan pada masa lalu adalah mengubur makanan di rawa. Penguburan ini melindungi makanan dari sinar matahari, panas, dan oksigen, yang dapat meningkatkan laju pembusukan makanan.

Rawa adalah lahan basah, lunak, dan kenyal,lingkungan yang sejuk, rendah oksigen, dan sangat asam. Sangat cocok untuk mengawetkan makanan. Hal ini sudah dipraktikkan di Eropa Utara. Mereka menyimpan makanan, termasuk butter ke dalam rawa untuk mengawetkannya.

Para arkeolog telah menemukan gumpalan zat lilin seperti parafin dalam lumpur berair. Para peneliti melakukan analisis kimia pada zat lilin dan mengidentifikasinya sebagai produk susu, dan diberi nama “bog butter.” Rawa menjadi alternatif bagi masyarakat pertanian kuno untuk mengawetkan makanan yang mudah rusak, seperti produk susu, dalam waktu yang lebih lama.

Be First to Comment

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Mission News Theme by Compete Themes.