Konferensi Leadership for Enterprise Sustainability Asia (LESA 2021) yang diselenggarakan Asia School of Business (ASB) dengan fokus pada adaptasi bisnis terhadap Ekonomi Perubahan Iklim sudah berakhir beberapa hari lalu. Acara ini memfasilisasi diskusi mengenai isu-isu penting terkait pengelolaan dan strategi risiko iklim, dengan penekanan pada inklusi keuangan, sumber daya manusia dan transisi energi yang berkelanjutan.
Salah satu hal yang menarik dari konferensi ini adalah adanya pemahaman bersama tentang urgensi pengambilan tindakan untuk mendorong literasi sustainability dan program literasi keuangan. Mumpung sekarang ada peningkatan dalam hal inklusi keuangan. Di Indonesia misalnya, kepemilikan rekening bank meningkat 6 percentage point menjadi 61,7 persen pada 2020, begitu juga penggunaan layanan keuangan yang meningkat menjadi 81,4 persen.
Pertemuan ini menyimpulkan pentingnya pendekatan kolektif dan interconnected untuk memecahkan krisis iklim. Setiap tahun, kita menghabiskan 1,75 kali jumlah sumber daya dunia ini. Kita sudah menumpuk utang yang besar kepada alam, dan ini akan mencapai batasnya, sementara alam tidak bisa memberikan ‘bailout’.
Perusahaan yang memiliki tanggung jawab lingkungan dan sosial akan menjadi perusahaan yang lebih disukai oleh Gen Z, yang cenderung lebih loyal kepada perusahaan yang sejalan dengan value dan keyakinan mereka. Mengingat sebagian besar negara Asia dan negara berkembang saat ini diuntungkan oleh bonus demografi, yakni tingginya populasi angkatan kerja usia muda, maka perusahaan perlu mempertimbangkan hal ini.
Konferensi ini juga menyoroti pentingnya membangun taksonomi bahasa umum yang dapat digunakan untuk menjelaskan berbagai isu dalam krisis iklim ini, sehingga setiap orang akan menggunakan bahasa yang sama untuk mendapatkan dukungan dari para pemimpin perusahaan, anggota parlemen, dan para pemimpin politik.
Para pemangku kepentingan perlu memahami apa manfaat, bahaya dan kerugiannya jika krisis iklim ini tidak segera diatasi. Agar orang-orang tahu apa yang harus dilakukan, mereka harus menyadari setiap aspek dari masalah ini. Kesimpulannya, pengetahuan sudah tersedia, tetapi perlu dirangkai dalam bahasa sederhana melalui ‘perangkat literasi keberlanjutan’.
Prof. Charles Fine (PhD Stanford), CEO, President & Dean of Asia School of Business mengatakan, “Ada komponen etika yang signifikan dalam sustainability. Kita harus bisa menyampaikan secara langsung dan transparan tentang tantangan dan masalah yang ada, serta memecahkannya. Ini tidak mudah dilakukan, tetapi ini adalah hal yang benar untuk dilakukan. Kami berharap dapat berkontribusi untuk “literasi keberlanjutan” yang lebih besar melalui program pendidikan dan penelitian untuk membekali dan meningkatkan keterampilan para pemimpin.”
Be First to Comment