Zona waktu global ditentukan belum terlalu lama, sebelum orang bisa saling terhubung melalui sambungan telepon dan kini terhubung dengan Internet.
Seperti dilansir dari Science Alert, baik di AS dan Inggris, perusahaan kereta apilah yang memperkenalkan konsep waktu standar nasional yang berubah sesuai garis bujur. Tujuannya untuk menjaga kereta berjalan tepat waktu dan memiliki jadwal sehingga setiap orang dapat merujuk secara akurat.
Adalah Sandford Fleming, perencana perjalanan kereta api dan teknisi asal Kanada yang pertama kali menentukan pembagian waktu yang baku. Sebab, belum adanya aturan waktu yang seragam, orang asing sering salah mengerti waktu jika berkunjung ke negeri yang jauh.
Fleming kemudian membagi bumi ke dalam 24 zona waktu berdasarkan pembulatan waktu rotasi bumi menjadi 24 jam dan 360 derajat Bumi. Titik nol adalah Greenwich di bujur O derajat. Artinya, setiap garis bujur selebar 15 derajat terjadi perbedaan waktu satu jam lebih lambat atau lebih cepat dari Greenwich. Usul ini disepakati di Konferensi Meridian Internasional di AS pada Oktober 1884.
Standardisasi waktu pertama kali diadopsi oleh perusahaan kereta api di Inggris pada 1847, lalu diikuti oleh standard time zone di Selandia Baru (11 jam dan 30 menit di depan Greenwich Meridian Time) pada 1868, dan diperkenalkannya lima zona waktu di AS pada 1883.
Pada tahun 1929, sebagian besar negara memiliki zona waktu yang merujuk pada GMT. Di Indonesia sendiri, dimulai pada masa Indonesia masih menjadi Hindia Belanda, yaitu koloni Belanda.
Staats Sporwegen (Jawatan Kereta Api) meminta adanya pengaturan zona waktu untuk kelancaran perjalanan kereta api di Pulau Jawa. Titik tengahnya atau titik nolnya adalah Jawa Tengah. Melalui sebuah peraturan pada 6 Januari 1908 diputuskan bahwa Jawa Tengah dan Batavia memiliki perbedaan waktu 12 menit.
Lebih lanjut, pengaturan waktu di wilayah Sumatera Barat dan Timur dan Balikpapan mendapat pembagian waktu pada 22 Februari 1918. Padang memiliki perbedaan waktu 39 menit lebih lambat daripada Jawa Tengah.
Pada 1930-an, zona waktu ini diatur kembali. Pada 11 November 1932 diputuskan Hindia Belanda memiliki enam zona waktu dengan selisih tiap zona adalah 30 menit. Tapi pada masa pendudukan Jepang, ada aturan sendiri. Waktu di nusantara disesuaikan dengan waktu di Tokyo untuk memudahkan pengaturan wilayah.
Pembagian zona waktu menjadi tiga wilayah terjadi pada 1947, terkecuali untuk wilayah Papua. Pada 1963, melalui Keppres no 243 tahun 1963 diputuskan Indonesia terdiri dari tiga zona waktu sebagaimana yang kita gunakan saat ini.
Nah, pada 2013, Menko Perekonomian Hatta Rajasa waktu itu mencetuskan usulan penyatuan zona waktu dengan alasan efisiensi kerja dan meningkatkan perekonomian. Tapi usulan itu mengendap.
Lain lagi ekonom Steve Hanke dan astronom Dick Henry. Mereka getol mengusulkan diakhirinya zona waktu di seluruh dunia. Mereka menyodorkan sebuah konsep bernama Hanke-Henry Date and Time. Lagi pula, menurut mereka, dari sudut pandang fisika, waktu selalu sama di mana pun di dunia.
Hanke-Henry Date and Time diklaim akan memudahkan bisnis, negara-negara, dan maskapai penerbangan. Kalender juga akan selalu identik setiap tahun. Ini akan membuat kalender menjadi sinkron dengan perubahan musim.
Hari ulang tahun kamu akan selalu jatuh pada hari yang sama dan hari Natal akan juga selalu jatuh pada hari yang sama. Kuartal bulan dan tahun akan lebih seragam, membuat praktik akuntansi dan keuangan lebih mudah.
Be First to Comment