Press "Enter" to skip to content
Ilustrasi siput (Foto: S. Hermann & F. Richter/Pixabay)

Uniknya Evolusi Lendir

Lendir itu umum di dunia satwa dan juga di dunia kita manusia. Di dunia hewan, kita bisa melihat lendir pada amfibi, siput, keong, dan sebagainya.

Sedangkan pada manusia, lendir bisa diproduksi di mulut, hidung, tenggorokan, paru-paru, usus, leher rahim, saluran kemih, dan sebagainya, Semuanya diproduksi untuk tujuan berbeda-beda.

Tapi, asal mula lendir ini masih menjadi misteri lho, sampai terjadinya penemuan tak sengaja oleh sejumlah peneliti di University at Buffalo di New York.

Baca juga: Nepenthes Berbentuk Penis, Lucu Sih Tapi Jangan Dipetik!

Meskipun lendir di mana-mana terlihat sama, ternyata banyak lendir berevolusi secara pararel.

Sebuah studi kecil yang diterbitkan di jurnal Science Advances menemukan bahwa dari berbagai kelenjar dan lendir di antara mamalia, ternyata lendir tidak memiliki ‘nenek moyang’ yang sama. Ini menjadi unik, sebab sebagian besar gen dengan fungsi yang serupa, biasanya berasal dari gen luluhur yang sama, yang diturunkan dari generasi ke generasi karena memberikan manfaat bagi kelangsungan hidup.

Bahkan dalam spesies kita sendiri, gen yang mengkode protein lendir ternyata termasuk ke dalam beberapa famili. Satu famili mengeluarkan protein lendir pembentuk gel, sementara yang lain menghasilkan protein lendir yang terikat pada membran sel. Ada juga gen ‘yatim piatu’ yang mengkode produksi lendir yang tidak cocok di tempat lain.

Masing-masing garis keturunan yang terpisah ini mungkin berevolusi secara independen, dan para peneliti berpikir telah menemukan asal mula lendir itu.

Ketika membandingkan gen yang melakukan encoding lendir, yang dikenal sebagai gen musin di 49 spesies mamalia, tim peneliti menemukan protein non-musin dapat berevolusi menjadi protein musin yang berlendir, ketika rantai pendek asam amino (blok pembangun protein) ditambahkan lagi.

Baca juga: Mengapa Anjing dan Hewan Lain Menjilati Lukanya

Di antara semua gen musin yang dipelajari, pengulangan acak semacam itu dihitung muncul 15 kali.

Dengan kata lain, beberapa gen pada mamalia yang mengkode protein non-musin condong jadi berlendir dari waktu ke waktu. Protein-protein yang kaya akan prolin asam organik kemungkinan makin lengket dari generasi ke generasi.

“Saya rasa sebelumnya tidak diketahui bahwa fungsi protein dapat berevolusi dengan cara ini, dari protein yang mendapatkan sequence yang berulang,” kata ahli biologi evolusioner Omer Gokcumen dari University at Buffalo, seperti dilansir Science Alert. “Sebuah protein yang bukan musin menjadi musin hanya dengan pengulangan. Ini adalah cara penting evolusi membuat lendir. Ini adalah trik evolusi, dan kita berhasil mendokumentasikannya berulang kali.”

Penemuan itu terjadi secara kebetulan saat para peneliti mempelajari air liur manusia. Selama percobaan, mereka melihat satu gen musin tertentu pada manusia memiliki kesamaan dengan yang terdapat pada tikus. Namun, ketika mereka mencoba menemukan leluhur yang sama, mereka gagal.

Gen musin pada tikus tampaknya telah berevolusi secara independen, meskipun sebagian dari gen tersebut berbagi struktur yang terlihat pada gen yang bertanggung jawab atas air mata manusia, yang tidak dianggap lendir.

“Kami berpikir bahwa entah bagaimana gen air mata itu akhirnya digunakan kembali,” jelas Gokcumen. “Pengulangan itu memberinya fungsi musin, dan sekarang banyak diekspresikan dalam air liur tikus.”

Jika Gokcumen dan rekan-rekannya benar, penelitian mereka menawarkan mekanisme evolusi genetik yang baru, yakni pembentukan fungsi gen baru tanpa peristiwa duplikasi gen seperti biasanya.

Terjadinya mutasi paralel pada gen yang tidak terkait yang menghasilkan fungsi yang sama adalah contoh evolusi konvergen (di mana tekanan selektif membentuk fungsi yang sama dari asal biologis yang tidak terkait, seperti sayap kelelawar dan burung) yang terjadi pada tingkat genetik.

“Jika musin ini terus berevolusi dari non-musin berulang kali pada spesies yang berbeda pada waktu yang berbeda, ini menunjukkan bahwa ada semacam tekanan adaptif yang membuatnya bermanfaat,” kata ahli genetika evolusioner Petar Pajic dari University at Buffalo.

Be First to Comment

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Mission News Theme by Compete Themes.