Tahun 1820 S.C. Crooke, seorang perwira kehormatan bangsa Inggris, melayari Batanghari tiba di suatu kampung di tepi utara Batanghari. Di kampung yang dikenal dengan nama Muara Jambi ia menemukan runtuhan bangunan bata pada areal yang luas. Itulah awal ditemukannya kompleks vihāra Muara Jambi.
Lebih dari seabad setelah kedatangan Crooke, mulailah runtuhan bangunan tua tersebut mendapat perhatian para arkeolog amatir seperti Adam dan Schnitger. Berdasarkan cerita penduduk, Adam mengindentifikasikan runtuhan bangunan tersebut sebagai sebuah “kota kuno”. Kemudian tahun 1936 Schnitger, seorang Controleur Belanda yang membawahi wilayah Sumatra bagian selatan, berkunjung ke Muara Jambi. Karena ia seorang purbakalawan amatir, ia melakukan penggalian di Muara Jambi. Hampir seluruh kepurbakalaan Sumatra ia tulis dalam bukunya yang monumental, yaitu Archaeology Hindoo Sumatra. Buku tersebut hingga kini masih dipakai sebagai bahan rujukan para pakar arkeologi.
Tulisan ini bukan cerita tentang Muara Jambi, tetapi tentang berkembangnya sebuah pemukiman sederhana di suatu tempat di Batanghari. Pemukiman sederhana tersebut sekarang telah menjadi kota yang bernama Jāmbi. Kalau dikatakan Muara Jambi sebagai sebuah kota, seperti yang diutarakan oleh Crooke, mengapa tidak ada bekas-bekasnya?
Lalu-lintas sungai
Sungai Batanghari yang dapat dilayari panjangnya lebih dari 800 km. telah memiliki sejarah yang cukup panjang. Berbagai tinggalan budaya zaman lampau banyak ditemukan di beberapa tempat di sepanjang tepiannya. Hingga kini, situs arkeologi dari Zaman Klasik Indonesia (suatu zaman yang mendapat pengaruh budaya India) yang sudah ditemukan dan terdaftar berjumlah sekurang-kurangnya 35 buah situs.
Situs arkeologi yang merupakan petunjuk permukiman kuno memberikan informasi bahwa pada zaman itu terdapat kelompok permukiman yang menempati tepian sungai. Keadaan seperti ini masih ditemukannya kampung-kampung di tepian sungai. Beberapa kampung di antaranya diduga merupakan kelanjutan dari permukiman sebelumnya. Penduduk memilih lokasi dekat dengan aliran sungai yang merupakan jalan transportasi. Rumah-rumah tinggal didirikan di atas tanggul alam yang relatif tidak terkena banjir ketika sungai meluap. Ada juga yang mendirikan rumah di atas air berupa rumah kolong. Bagian kolong rumah biasa untuk menambatkan perahu.
Sebagai sebuah jalan transportasi tentu saja banyak dilalui oleh saudagar asing. Para saudagar tersebut ada yang datang dari Tiongkok dengan membawa barang-barang keramik, dan ada pula yang datang dari Thailand selatan dan India Selatan. Sebuah ekskavasi arkeologi di situs Gedungkarya berhasil menemukan tempat penimbunan barang-barang kendi putih dari Thailand selatan. Di situs Koto Kandis dan Rantau Kapas Tuo menemukan petunjuk adanya pengaruh dari India Selatan (Cōla) berupa arca-arca logam.
Kota dan Pelabuhan Sungai
Sebuah kota tempat tinggal manusia dengan segala aktivitasnya dimulai dari sebuah pemukiman sederhana yang hanya terdiri dari beberapa rumah tinggal. Penempatannya dipilih berdasarkan pertimbangan tertentu. Pemukiman masyarakat agraris akan memilih tanah-tanah pertanian yang subur, pemukiman masyarakat pedagang akan memilih tempat yang strategis secara ekonomis dan dekat pasar. Pada prinsipnya sebuah pemukiman akan memilih tempat yang aman dan strategis. Berdasarkan data arkeologis yang sampai kepada kita, pemukiman awal di Batanghari ditemukan di sebuah situs di kota Jambi sekarang.
Tinggalan budaya masa lampau yang merupakan indikator pemukiman kuno masa awal ditemukan di Situs Lebak Bandung berdekatan dengan Situs Solok Sipin. Tinggalan budaya di Situs Lebak Bandung berupa kubur tempayan (Rangkuti, 2018: 5-6). Kubur ini merupakan penguburan kedua (secondary burial) pada kelompok masyarakat prasejarah atau setidak-tidaknya pada kelompok masyarakat yang misih ikut tradisi prasejarah. Dekat dari situs Lebak Bandung, terdapat Situs Solok Sipin yang berdasarkan tinggalannya merupakan indikator situs upacara bagi kelompok masyarakat penganut ajaran Buddha. Melihat lokasi dan tinggalan budayanya, di daerah Solok Sipin terdapat sekurang-kurangnya dua buah bangunan suci dari bahan bata. Kedua bangunan suci tersebut mempunyai ukuran yang cukup besar karena ukuran makaranya juga besar. Salah satu dari empat buah makara yang ditemukan dari Solok Sipin mempunyai tulisan yang berbunyi //(pasumba?) lini mpu dharmmawîra(?)// i çaka 986. (1064 Masehi) (Brandes 1902:34-36).
Ada hal yang aneh yaitu temuan sebuah arca Buddha yang berdasarkan langgamnya, arca Buddha dari Solok Sipin berlanggam Gupta-Post Gupta yang berkembang pada sekitar abad ke-6-7 Masehi (Nik Hassan Shuhaimi 1984: 264-265; Schnitger 1937: 7). Dikatakan aneh karena bangunannya berdasarkan prasasti pada makara berangkatahun 1064 Masehi. Boleh jadi arca Buddha berasal dari bangunan lain yang lebih tua dari bangunan abad ke-11.
Secara geografis kota Jambi terletak di batas tanah alluvial yang keadaan permukaan tanahnya lebih tinggi. Situs Lebak Bandung dan Solok Sipin terletak di permukaan tanah yang tinggi tidak pada tanah alluvial sehingga memungkinkan untuk membangun sebuah perkampungan tanpa takut dilanda banjir ketika Batanghari meluap. Datangnya pengaruh asing di Jambi memungkinkan kelompok masyarakat prasejarah dapat berinteraksi dengan para pendatang. Akibat interaksi dengan pendatang kemudian masuk salah satu unsur kebudayaan pendatang, yaitu religi.
Pelabuhan adalah tempat di mana kapal dapat berlabuh dengan aman untuk membongkar dan memuat barang-barang serta menambah perbekalan. Keadaan satu pelabuhan dengan pelabuhan lain tidak sama. Berkembang dan tidaknya sebuah pelabuhan dapat tergantung pada lingkungan alam pelabuhan tersebut, misalnya di sebuah teluk yang dalam serta di muara sungai besar; dan juga daya tarik pendukung pelabuhan tersebut, misalnya sumber alam dan produk dari daerah pendukung pelabuhan.
Pelabuhan harus mempunyai daya tarik yang besar bagi kapal-kapal dari luar, misalnya pasar yang ramai di mana hasil hutan dan tambang dari pedalaman dipasarkan dan di mana bahan makanan dan air minum disediakan untuk konsumsi di kapal. Sekalipun di sebuah pelabuhan kapal tidak dapat merapat, tetapi pelabuhan tersebut mempunyai daya tarik yang kuat, pelabuhan tersebut dapat ramai. Sebagai contoh misalnya pelabuhan Barus di pantai barat Sumatra. Dilihat dari lingkungan alamnya, daerah pantai barat Sumatra tidak layak untuk pelabuhan. Untuk mencapai daerah tersebut sangat sulit karena ombak pantai barat Sumatra cukup besar. Di samping itu keadaan pantainya cukup curam. Namun karena ada daya tarik yang berupa sumber alam, Barus menjadi terkenal di antara saudagar pada masa itu.
Ada pula jenis pelabuhan yang mempunyai perairan dangkal di mana kapal-kapal tidak dapat merapat ke pelabuhan. Namun, karena pelabuhan tersebut mempunyai daya tarik pasar di mana para saudagar dapat memperoleh keuntungan yang besar dari perniagaan setempat, pelabuhan tersebut tetap dikunjungi para pelaut dan saudagar. Gosong pasir dan karang yang merupakan penghalang pelayaran yang penting, dapat diatasi dengan cara mengirimkan sampan-sampan kecil ke pelabuhan. Dengan sampan kecil inilah barang-barang komoditi dan bahan makanan dan minuman dibawa ke kapal.
Pelabuhan yang baik dan aman untuk berlabuhnya sebuah kapal adalah pada mulut sebuah sungai yang lebar, agak masuk ke hilir sebuah sungai yang lebar dan dalam, atau pada sebuah teluk yang berair tenang. Di tempat-tempat semacam ini, sebuah pelabuhan yang tadinya kecil kemudian dapat berkembang menjadi pelabuhan dan kota yang besar. Sebagai contoh misalnya pelabuhan Jāmbi dan Śrīwijaya/Palembang. Kedua tempat ini semula merupakan sebuah pelabuhan sungai yang jauh dari garis pantai sekarang. Karena mempunyai faktor pendukung yang kuat, dalam hal ini pasar yang ramai, kedua tempat tersebut dapat berkembang pesat menjadi sebuah kota besar dengan penduduk yang banyak.
Di samping hasil bumi dan hasil tambang yang menjanjikan untuk berkembangnya kerajaan-kerajaan di Sumatra, keletakan geografis Sumatra pun menjanjikan perkembangan kerajaan-kerajaan. Pulau Sumatra secara geografis terletak di lintas perdagangan antara Arab, Persia, India di belahan barat dan Thailand, Vietnam, Tiongkok, dan Jepang di belahan timur. Karena ramainya perdagangan yang ditunjang juga dengan hasil bumi dan hasil tambangnya, di pulau Sumatra baik di pantai barat maupun pantai timur timbul bandar-bandar. Bandar-bandar itu pada mulanya berfungsi sebagai tempat persinggahan kapal-kapal untuk menambah perbekalan. Lama-kelamaan berfungsi sebagai tempat bertemunya antara penjual dan pembeli. Komoditi perdagangan yang dihasilkan di bumi Sumatra diperdagangkan di bandar-bandar yang ada di pesisir barat dan timur Sumatra.
Di pesisir timur Sumatra, di muara Batanghari dikenal sebuah bandar yang dalam berita Arab disebut Zābag atau Zābaj. Oleh beberapa sarjana bandar ini diidentikkan dengan Śrīwijaya atau Sribuza. Namun melihat lokasinya di daerah lahan basah, daerah ini dulunya merupakan sebuah perkampungan dengan rumah-rumah yang dibangun di atas tiang (rumah kolong). Dalam kenyataannya di daerah lahan basah ini banyak ditemukan situs. Hampir seluruh situs ditemukan di daerah delta Batanghari.
Bambang Budi Utomo, Peneliti di Pusat Penelitian Arkeologi
Be First to Comment