Press "Enter" to skip to content
Dok. LIPI.go.id

Ditemukan Spesies Baru Katak Bertanduk di Kalimantan

Katak bertanduk? Yes. Katak ini memang punya tanduk atau dermal accessory. Salah satu jenis baru katak ini baru dideskripsikan oleh tim peneliti dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Kyoto University, Aichi University of Education, Institut Teknologi Bandung, dan Universitas Negeri Semarang. Katak ini ditemukan dalam ekspedisi di pegunungan Meratus, di Kalimantan Selatan dan Kalimantan Timur, di Bario, Sarawak, dan pegunungan Crocker di Sabah, Malaysia.

Katak itu disebut Katak tanduk Kalimantan atau nama latinnya Megophrys kalimantanensis. Morfologisnya sangat mirip dengan katak tanduk pinokio (Megophrys nasuta) yang tersebar di Sumatera, Kalimantan, Semenanjung Malaya, serta pulau-pulau kecil di sekitarnya. “Spesimen pertama dari jenis baru ini sebetulnya sudah dikoleksi pada tahun 2008 oleh peneliti senior Pusat Penelitian Biologi LIPI, Irvan Sidik namun dengan nama katak tanduk pinokio,” ujar peneliti bidang herpetologi Pusat Penelitian Biologi LIPI, Amir Hamidy, baru-baru ini.

Penemuan mereka diterbitkan di jurnal Zootaxa vol. 4679.

Ekspedisi di kawasan pegunungan Meratus dilakukan kembali sampai pada 2019. Dalam ekspedisi itu, tak hanya spesimen individu dewasa yang berhasil dikoleksi tetapi juga koleksi kecebong dan suara yang dihasilkan oleh individu jantan. Melalui pendekatan morfologi, molekuler dan akustik, spesimen yang sebelumnya diduga sebagai katak tanduk pinokio ternyata merupakan jenis yang berbeda dan belum memiliki nama ilmiah.

Berikut ini keterangan lengkap mengenai katak tersebut:

1. Ciri-ciri
Dibandingkan dengan katak tanduk pinokio, jenis baru ini memiliki tanduk (dermal accessory) pada bagian moncong dan mata yang lebih pendek jika dibandingkan dengan katak tanduk pinokio. Juga sepasang lipatan lateral tambahan pada sayap. Pada saat berudu katak ini berwarna coklat tua yang condong ke oranye-coklat dan berubah menjadi coklat pucat pada saat dewasa. Secara akustik, suara individu jantan dari jenis baru ini memiliki variasi yang lebih banyak dan lebih panjang jika dibandingkan dengan katak-tanduk pinokio. “Berdasarkan hasil analisis dari tiga metode pendekatan tersebut kami menyimpulkan bahwa jenis tersebut merupakan jenis baru dan kemudian diberi nama Megophrys kalimantanensis,” jelas Amir. Pemberian nama kalimantanensis merupakan toponim dari nama pulau Kalimantan.

2. Habitat
Penemuan katak tanduk Kalimantan yang terdistribusi di bagian pegunungan utara Borneo (Sarawak dan Sabah), Malaysia serta pegunungan Meratus yang masuk wilayah Indonesia sangat mengejutkan dan di luar dugaan mengingat kedua lokasi ini terpisah cukup jauh, sekitar 950 kilometer. Meski cukup jauh, kedua populasi tersebut memiliki variasi genetik yang sangat rendah dan menunjukan sebagai jenis yang sama. Batas negara antara Malaysia dan Indonesia tidak berlaku untuk jenis baru ini. Hamparan lahan gambut dan hutan dataran rendah antara bagian utara dan selatan di pulau Kalimantan ini sepertinya menjadi pembatas, sehingga jenis baru ini hanya dapat ditemukan di kawasan pegunungan baik di utara maupun selatan pulau.

3. Ancaman
Penemuan katak tanduk kalimantan ini bukanlah yang terakhir mengingat masih luasnya kawasan Kalimantan yang belum tereksplorasi. Begitu juga dengan kawasan lainnya di Sumatera, Sulawesi, Papua serta daerah lainnya di Indonesia. Hilangnya hutan di Kalimantan menjadi ancaman yang cukup serius bagi jenis ini kawasan berhutan sebagai habitat utamanya. Diketahui bahwa sekitar 168,493 km2 atau lebih dari 30 persen hutan di pulau Kalimantan telah hilang selama kurun waktu 1973 sampai 2010. Hilangnya kawasan hutan menjadi ancaman serius untuk jenis-jenis yang mungkin belum dideskripsikan. Bisa saja begitu terdeskripsikan saat itu juga diketahui sebagai jenis yang terancam punah atau mungkin populasi tersebut adalah populasi terakhir mengingat sudah tidak ada hutan lagi yang cukup bagus. Selain kerusakan habitat, penggunaan komersial sebagai hewan peliharaan juga menjadi ancaman serius.

“Kepunahan spesies ini memenuhi syarat rentan dan dimungkinkan untuk masuk dalam kategori status Daftar Merah IUCN sebagai bentuk upaya konservasi lebih lanjut,” kata Amir.

Be First to Comment

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Mission News Theme by Compete Themes.