Burung gosong sangat populer di Kepulauan Maluku, terutama telurnya. Burung ini dikenal memiliki telur yang ukurannya di atas rata-rata, bahkan lebih besar dari telur ayam. Sehingga masyarakat memanfaatkan telur ini sebagai sumber protein hewani dan pendapatan rumah tangga.
Menurut sebuah penelitian terbaru di Fakultas Pertanian Universitas Pattimura tahun 2020, daerah-daerah yang mengeksploitasi telur burung gosong adalah Halmahera Utara, Kailolo, dan Haruku. Akibat eksploitasi yang tak terkendali dengan baik ini, populasi burung gosong kini berstatus rentan menurut IUCN tahun 2020.
Burung gosong termasuk famili Megapodiidae. Masyarakat lebih mengenalnya sebagai burung gosong, maleo, atau burung momoa. Spesies yang tersebar di Maluku yaitu burung gosong kaki merah (Megapodius reinwardt), maleo paruh hitam (Talegalla occidentis), dan gosong Maluku (Eulipoa wallacei). Total populasi burung ini di alam saat ini antara 20.000 -50.000 ekor dengan tingkat eksploitasi 80 persen, dan habitat aslinya sudah makin berkurang.
Burung gosong memiliki insting merancang inkubator alami yaitu sarang untuk pengeraman telur. Ada dua tipe sarangnya, yaitu sarang tunggal dan sarang komunal. Sarang tunggal biasanya khusus untuk seekor burung sedangkan sarang komunal dibangun oleh beberapa pasang burung.
Sarang tunggal dibangun di tanah berpasir di wilayah terbuka. Sarang ini banyak ditemukan di pesisir pantai. Sedangkan sarang komunal biasanya lebih mudah dikenali karena berwujud gundukan yang terdiri dari campuran dedaunan, ranting, dan serasah. Sarang ini dibangun di antara banir pohon, di bawah pohon tumbang, atau dekat akar-akar pohon.
Habitat burung ini aslinya di pesisir Seram Utara Barat. Namun aktivitas penggalian telur yang tak terkendali membuat habitat asli ini semakin rusak. Frekuensi kemunculan burung ini juga semakin menurun. Sebabnya, menurut penelitian yang dilakukan Astri Dwiyanti Tagueha dan Isye Jean Liur dari Universitas Pattimura, kegiatan pembongkaran sarang burung seringkali tidak disertai penimbunan kembali sarang tersebut, sehingga burung dewasa tidak lagi mengenali sarangnya.
Rupanya ada dua macam perilaku pencari telur ini, menurut penelitian Astri dan Isye. Mereka yang memang bekerja sebagai pengumpul telur umumnya memiliki pengetahuan yang baik mengenai jenis, perilaku, dan habitat burung gosong. Berbeda dengan masyarakat umum yang cenderung mencari telur hanya sebagai hobi sehingga kurang mengenal burung yang mereka cari.
Masyarakat kerap mencari telur menggunakan sekop atau linggis, sehingga tak jarang malah membahayakan telur dan anak burung. Sedangkan pengumpul telur, karena merupakan profesi, cenderung hati-hati dan menggali sarang menggunakan tangan kosong untuk meminimalisir kerusakan sarang.
“Masyarakat boleh saja diberikan kebebasan, tapi sebaiknya tetap diikat dengan aturan dan sanksi hukum yang jelas jika merusak ekosistem alami burung gosong,” tutur peneliti dalam jurnal Ilmiah Ilmu-Ilmu Hayati.
Be First to Comment