Bisnis retail yang menggabungkan toko online dan toko fisik atau yang menawarkan omnichannel kepada pelanggan, menjadi daya tarik tersendiri bagi konsumen. Namun, peretail saat ini sedang didera berbagai tantangan seperti mengelola pengembalian barang atau retur dan menangani penyusutan stok toko akibat pencurian, penipuan, dan sebagainya.
Studi terbaru dari Zebra Technologies Corporation, 16th Annual Global Shopper Study, mendapati bahwa secara global, delapan dari 10 peritel setuju bahwa meminimalkan penipuan/penyusutan adalah tantangan yang besar (82%) dan kemampuan untuk memperkirakan kebutuhan atau demand sangat penting bagi perusahaan mereka (86%).
Di Asia Pasifik, respon peritel masing-masing 74% dan 89%. Menurut National Retail Federation (NRF), para peritel mengalami kerugian sebesar US$112 miliar akibat penyusutan stok pada 2022, naik dari hampir US$94 miliar pada 2021.
Studi Zebra ini mengindikasikan bahwa 36% peritel di dunia (40% di Asia Pasifik) meyakini bahwa analitik yang lebih baik terhadap kasus penyusutan stok ini akan membantu meningkatkan profitabilitas. Banyak peritel berharap dapat menerapkan loss prevention analytic (49% di dunia, 55% di Asia Pasifik), serta planning and forecasting (54% di dunia, 61% di Asia Pasifik) hingga tahun 2026.
Meskipun omnichannel shopping memberikan tantangan, sebagian besar konsumen (shopper) memang paling suka jika mereka punya sejumlah opsi. Hampir 8 dari 10 konsumen di dunia dan Asia Pasifik menyukai gabungan antara belanja online dan belanja di toko, sementara 76% dari konsumen di dunia dan 72% dari konsumen di Asia Pasifik memilih untuk belanja di peritel online yang memiliki toko fisik.
Ketika omnichannel shopping terus berkembang, volume retur barang juga meningkat. Sekitar tujuh dari 10 peritel di dunia dan di Asia Pasifik mengatakan bahwa ada tantangan yang semakin besar untuk meningkatkan efisiensi dan biaya dalam mengelola pesanan online, retur, dan proses pemenuhan.
Sebanyak enam dari 10 peritel mengatakan bahwa mereka sedang memperbarui teknologi pengelolaan retur hingga tahun 2026. Di Asia Pasifik, lebih banyak peritel yang tengah dalam proses upgrade (74%), lebih besar 12% dibandingkan peritel di dunia yang disurvei.
Pembaruan teknologi ternyata tidak hanya berdampak positif bagi konsumen. Staf toko juga akan merasa senang dengan investasi dalam teknologi ini.
Di antara staf yang melayani retur dari pesanan online, hampir tiga perempatnya (74% di dunia dan di Asia Pasifik) menyebutkan pelanggan yang sering mengembalikan barang adalah tantangan terbesar mereka. Tahun ini, kemudahan dalam melakukan retur menjadi alasan utama konsumen memilih untuk berbelanja di toko, mengalahkan alasan melakukan perbandingan harga sebelum berbelanja.
Apabila kemudahan retur bagi konsumen global naik sedikit (32% pada 2022 naik ke 33% pada 2023), bagi konsumen di Asia Pasifik kenaikannya justru besar, mencapai 7%, dari 32% pada 2022 menjadi 39% pada 2023. Peningkatan dalam layanan retur ini telah memberikan dampak bagi peritel di seluruh dunia, tumbuh menjadi US$1,8T menurut IHL Group.
“Para peritel mengakui bahwa teknologi harus diterapkan dengan cerdas saat berurusan dengan retur,” kata Eric Ananda, Indonesia Country Lead, Zebra Technologies. “Ketika konsumen memiliki ekspektasi yang lebih tinggi akan kemudahan melakukan retur lebih sering, para peritel justru menghadapi kesulitan dalam mengelola kenaikan pengeluaran terkait dengan inventory visibility, reverse logistics, dan banyaknya retur.
Be First to Comment