Tahukah kamu, Provinsi Aceh adalah kawasan dengan habitat gajah sumatera (Elephas maximus
sumatranus) terbesar di Indonesia. Masalahnya, konflik antara gajah liar itu dengan manusia ternyata cukup tinggi di sana. Apa penyebabnya?
Baru-baru ini, tim peneliti dari World Resources Institute Indonesia, yaitu Qomariah IN, Rahmi T, Said Z, dan Wijaya A, melakukan penelitian mengenai hal itu dan diterbitkan secara online oleh jurnal Biodiversitas terbaru. Mereka mendapati, selama periode 2012-2017 ada 262 kasus konflik gajah dan manusia di 16 kabupaten/kota.
Tim peneliti mendapati bahwa penyebab utama konflik gajah-manusia adalah kedekatan antara habitat gajah dan permukiman, dan hilangnya tutupan hutan. “Dari temuan itu, kami menyarankan dilakukan penghutanan kembali area yang menjadi kawasan jelajah gajah dan membangun pembatas di dalam area hutan konservasi,” ujar tim peneliti, seperti dikutip portalsains.org dari jurnal Biodiversity.
Gajah sumatera adalah subspesies gajah Asia yang endemik di Pulau Sumatera. Di ekosistem di mana mereka hidup, gajah memainkan peranan penting. Saat musim kemarau, gajah membantu ketersediaan kebutuhan air bagi penghuni ekosistem sebab mereka akan selalu berusaha menggali sumber air menggunakan gading mereka.
Gajah juga suka memakan rumput-rumput yang besar, sehingga perilaku ini memicu tumbuhnya rerumputan yang lebih lebih, yang bisa menjadi makanan rusa dan kijang. Sebagai hewan yang punya area jelajah luas, gajah membantu menyebarkan bibit tanaman baru.
Di Taman Nasional Gunung Leuser, gajah menjadi spesies payung. Maksudnya, naik turunnya populasi gajah menjadi indikator pengelolaan konservasi alam liar. Ketika populasinya menurun, dampaknya akan melanda keseluruhan ekosistem hutan. Gajah sendiri sudah berstatus Terancam Punah berdasarkan data International Union for Conservation of Nature (IUCN).
Pada 1980-an, populasi gajah sumatera di seluruh Sumatera diperkirakan 2.800-4.800 individu. Tapi pada 2007 populasinya tinggal 2.400-2.800 individu. Lalu pada 2014 terdata tinggal 1.724 individu. Di Aceh sendiri, tadinya ada 600-850 ekor gajah, kini tinggal 500-an ekor. Konflik gajah-manusia disebut sebagai salah satu ancaman signifikan terhadap populasi gajah di Sumatera.
Konflik gajah dan manusia terdiri dari aksi gajah merusak tanaman, memakan tanaman manusia, sampai serangan fisik ke bangunan dan manusia sendiri, serta pembunuhan balas dendam. Manusia biasanya membalas dendam dengan cara menyebarkan racun, memasang kabel bertegangan listrik tinggi, dan memasang jerat untuk membunuh gajah.
Biasanya, deforestasi menjadi pemicu terjadinya konflik gajah dan manusia. Sebab, saat habitatnya semakin sempit, gajah berpotensi melewati area permukiman. Gajah adalah satwa yang memiliki area jelajah tinggi untuk mencari stok makanan dan minuman serta shelter. Daya ingatnya pun tinggi, sehingga dia akan melewati rute yang serupa. Tapi ketika pembukaan hutan meluas, itu tak jarang beririsan dengan rute perjalanan gajah. Di situlah konflik terjadi.
Sebetulnya, pola ini juga melanda dan mengancam satwa lain. Pembangunan infrastruktur yang dilakukan manusia tak jarang mengancam satwa liar. Sebagai contoh, di Sumatera Utara, keberadaan jalan raya yang memotong area jelajah Harimau sumatera (Panthera tigris sumatrensis) telah menyebabkan risiko kematian harimau itu.
Pada kasus gajah, keberadaan pertanian monokultur ikut memicu konflik. Sebab keberadaan pertanian monokultur seperti kebun pisang atau kebun pinang, telah memancing ketertarikan gajah. Daripada pergi jauh-jauh, adanya kebun pisang atau pinang, membuat gajah memilih untuk mencari makanan di situ.
Be First to Comment