Satu juta spesies di dunia terancam punah, menurut penelitian The Intergovernmental Science-Policy Platform on Biodiversity and Ecosystem Services (IPBES). Kepunahan terjadi akibat terjadinya perubahan fungsi lahan, eksplotasi satwa liar, perubahan iklim, polusi dan serta invasi spesies asing. Untungnya ada angin segar dari hasil penelitian Lembaga Ilmu Pengetahun Indonesia (LIPI).
Kepala Pusat Penelitian Biologi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Atit Kanti, mengatakan LIPI telah melakukan penemuan banyak spesies satwa baru. Temuan satwa baru tersebut akan menjadi data based untuk melengkapi data kehati, khususnya fauna yang sangat penting untuk proses pembangunan keanekaragaman hayati berkelanjutan di Indonesia. Kontribusi peneliti LIPI dalam penemuan spesies baru pada tahun 2015-2019 mencapai hampir 50%.
Kepala Bidang Zoologi Pusat Penelitian Biologi LIPI, Cahyo Rahmadi, mengatakan selama kurun waktu 2015-2019 (Oktober 2019) telah ditemukan 32 spesies endemik baru di Indonesia. “Angka ini kami pastikan akan terus bertambah, karena proses identifikasi temuan masih terus berlangsung,” ungkap Cahyo, seperti dilansir dari LIPI.go.id.
Saat ini amphibi menduduki posisi kedua spesies terbanyak yang ditemukan LIPI setelah gastropoda. Temuan teranyar adalah katak tanduk Kalimantan (Megophrys kalimantanensis) yang baru saja dideskripsikan oleh tim peneliti dari LIPI, Kyoto University, Jepang, Aichi University of Education, Jepang, Institut Teknologi Bandung, dan Universitas Negeri Semarang, melalui ekspedisi di pegunungan Meratus di Kalimantan Selatan dan Kalimantan Timur, juga di Bario, Sarawak dan pegunungan Crocker di Sabah, Malaysia.
Peneliti LIPI juga berhasil menemukan tiga spesies baru kodok wayang dari hutan dataran tinggi Sumatera. Sigalegalephrynus gayoluesensis dari Gayo Lues, Aceh dan Sigalegalephrynus burnitelongensis dari gunung Burni Telong, Aceh yang ditemukan di daerah utara Sumatera. Sedangkan Sigalegalephrynus harveyi berasal dari gunung Dempo, Sumatera Selatan. “Genus Sigalegalephrynus memiliki lebih banyak spesies endemik dibandingkan genus kodok lainnya di Indonesia,” ujar Irvan Sidik dari Pusat Penelitian Biologi LIPI.
Hasil analisis filogenetik mengindikasikan terdapat perbedaan taksonomi antara kodok di dataran tinggi utara dan selatan. Hasil identifikasi karateristik morfologis, genetik dan akustik dari ketiga spesies baru tersebut berbeda dengan dua spesies genus Sigalegalephrynus sebelumnya yaitu Sigalegalephrynus mandailinguensis, dari gunung Sorikmarapi, Sumatera Utara dan Sigalegalephrynus minangkabauensis dari gunung Kunyit, Jambi.
Penemuan burung jenis baru Myzomela prawiradilagae berkontribusi menambah daftar panjang temuan satwa endemik burung di Indonesia. Bahkan keberhasilan deskripsi burung endemik asal pulau Alor ini berhasil menambah jumlah total burung genus Myzomela di Indonesia menjadi 20 jenis.
Secara fisik, Myzomela prawiradilagae memiliki kemiripan warna dengan Myzomela dammermani dari Sumba dan Myzomela vulnerata dari Timor. Peneliti bidang ornitologi Pusat Penelitian Biologi LIPI, Mohammad Irham menjelaskan, penamaan burung jenis baru dari pulau Alor ini merupakan bentuk penghargaan kepada peneliti senior bidang ornitologi LIPI, Dewi Prawiradilaga atas kontribusi besarnya untuk pengembangan penelitian ekologi dan konservasi burung Indonesia.
Meskipun burung pemakan madu alias nektorivora tersebut secara filogenetik berkerabat dekat dengan Myzomela kuehni dari pulau Wetar, Maluku, namun dilihat dari karakter morfologi, bioakustik dan ekologi memiliki perbedaan siginfikan. “Warna merah di kepala Myzomela prawiradilagae lebih mencolok dan memiliki pita kecil yang hanya mencapai tenggorokan. Vokalnya lebih lambat, bernada lebih rendah, dan hampir selalu dimulai denga nada awal. Habitat, terbatas di hutan Eucalyptus,” ujar Irham.
Be First to Comment