Press "Enter" to skip to content

Mengenal Karbon Biru dari Padang Lamun

Tahukah kamu istilah karbon biru? Karbon biru adalah istilah yang digunakan untuk membicarakan soal karbon yang diserap, disimpan, dan dilepaskan kembali oleh ekosistem vegetasi laut (mangrove dan padang lamun). Kalau menurut LIPI, karbon biru adalah layanan ekosistem yang penting terutama terkait aksi mitigasi perubahan iklim melalui penurunan emisi karbon.

Karbon biru ini diproduksi di ekosistem vegetasi laut, yaitu mangrove dan padang lamun. Dari keduanya, padang lamun kurang banyak diperhatikan. Padahal, padang lamun tak kalah penting layanan ekosistemnya. Padang lamun menjadi tempatnya pemijahan dan pembesaran berbagai spesies ikan, penyaring materi tersuspensi pada air laut, sumber makanan mamalia laut dugong, dan menjadi layanan karbon biru untuk mitigasi perubahan iklim.

Dilansir dari lipi.go.id, Indonesia sendiri memiliki 33 spesies lamun dari 60 spesies lamun di seluruh dunia. Padang lamun adalah ekosistem laut dangkal yang didominasi lamun, yaitu tumbuhan berbunga yang telah beradaptasi dengan air asin.

Indonesia sendiri memiliki target penurunan emisi karbon sebesar 29% (atau 41% dengan bantuan luar negeri) relatif terhadap business as usual (BAU) sampai tahun 2030. Target ini salah satunya harus disumbangkan oleh sektor laut dan perikanan, dengan terlebih dahulu menentukan beberapa prasyarat. Prasyarat minimal antara lain penentuan faktor emisi alih lahan ekosistem pesisir, catatan perubahan luas area, dan neraca karbon (cadangan dan serapan karbon) ekosistem vegetasi pesisir termasuk padang lamun.

Ketika pertama kali isu karbon biru mendapat perhatian peneliti Indonesia satu dekade terakhir, langkah awal yang dilakukan adalah melakukan riset mengenai cadangan dan serapan karbon ekosistem pesisir. Pengembangan metode riset di Indonesia dilakukan dengan mengacu pada perkembangan terakhir riset karbon biru di dunia.

Namun demikian, berbagai panduan dan metode riset umumnya menitikberatkan pada sampling lapangan dan analisis laboratorium dengan sarana yang canggih dan maju. Kendala ini menjadi salah satu tantangan di Indonesia, terutama karena tidak banyak peneliti yang mendapatkan kesempatan melakukan riset karbon biru dengan sarana memadai.

Sementara itu, wilayah cakupan nasional Indonesia sangat luas, apalagi jika ditargetkan untuk memperoleh data yang representatif secara nasional untuk data faktor emisi dan neraca karbon yang diperlukan dalam perhitungan penurunan emisi karbon pada konteks Pembangunan Rendah Karbon (PRK)

Riset karbon biru padang lamun menemukan momentumnya sekitar awal tahun 2013 lalu, ketika dimulainya riset untuk menentukan neraca karbon, di samping inventarisasi dan riset ekologis ekosistem. Namun, terkendala oleh sarana laboratorium dan akses lapangan, wilayah Indonesia yang luas tidak cukup terwakili.

Tercatat hanya ada sembilan lokasi di Indonesia yang telah diteliti dalam rangka riset karbon biru. Sebaran wilayah ini masih jauh dari cukup. Meskipun demikian, terdapat data dan informasi terkait padang lamun (biomas, kepadatan dan persentase tutupan) di sekitar 19 lokasi di Indonesia yang diperoleh dari program COREMAP-CTI. Termotivasi oleh inisiatif PRK, pada tahun 2018 peneliti dari berbagai lembaga tergerak untuk saling berbagi data dan informasi terkait riset karbon biru.

Data lengkap neraca karbon padang lamun dari sembilan lokasi kemudian dikombinasikan dengan data dari 19 lokasi lainnya. Model statistik yaitu Robust Linear Mixed Models (rLMMs) digunakan untuk menentukan korelasi antar parameter padang lamun terkait neraca karbon, yaitu biomassa, kepadatan, persentase tutupan, cadangan karbon, dan serapan karbon.

Hanya ada 13 lokasi (dari 28 lokasi) yang cukup lengkap untuk digunakan datanya dalam penentuan formula model. Hasil kerja tim peneliti tersebut dipublikasikan di majalah ilmiah internasional, Ocean Science Journal (https://rdcu.be/b14ic) pada tahun 2020.

Hasilnya, perhitungan neraca karbon padang lamun di Indonesia dapat dilakukan dengan memanfaatkan formula yang telah dikembangkan. Data dasar terkait padang lamun (biomassa, kepadatan, dan persentase tutupan) yang banyak tersedia di lembaga penelitian daerah dan universitas dapat dikonversi ke nilai neraca karbon dengan formula yang tersedia pada publikasi ilmiah tersebut.

Hasil riset tersebut juga dapat memperkirakan total cadangan karbon yang tersimpan di ekosistem padang lamun Indonesia yaitu sekitar 1.005 kilo ton karbon dengan potensi penyerapan karbon sebesar 7,4 mega ton karbon per tahun. Rata-rata cadangan karbon lamun di Indonesia tercatat maksimum sebesar 0,36 dan 0,79 ton karbon per hektar, masing-masing untuk cadangan karbon atas dan bawah permukaan.

Seagrass Carbon Converter (SCC), faktor emisi karbon, dan PRK Sebagai tindak lanjut agar hasil riset dapat dengan mudah dipakai oleh pemangku kepentingan, maka dikembangkanlah sebuah aplikasi berbasis web, yaitu Seagrass Carbon Converter (http://scc.oseanografi.lipi.go.id/).

SCC dibuat dengan mengacu pada formula untuk mengkonversi nilai biomas, kepadatan dan persentase tutupan lamun menjadi nilai cadangan dan serapan karbon. SCC diharapkan menjadi alternatif yang memudahkan bagi praktisi di daerah dalam hal pelaporan potensi neraca karbon biru ekosistem padang lamun.

Pelaporan-pelaporan semacam ini biasanya secara rutin diminta oleh sekretariat PRK untuk dipantau dan dievaluasi dalam kaitannya target penurunan emisi karbon. Berdasarkan nilai rata-rata cadangan karbon padang lamun nasional, maka kita bisa menentukan faktor emisi aktivitas antropogenik alih guna lahan padang lamun yaitu sebesar 0,05 ton karbon.

Nilai ini adalah 4% dari rata-rata cadangan karbon (jumlah cadangan karbon atas dan bawah permukaan = 1,15 ton karbon). Konstanta 4% berdasarkan hasil riset sebelumnya bahwa, setiap hektar padang lamun akan mulai melepas karbon ke udara secara bertahap sebesar 4% per tahun dari total cadangan karbon tersimpan, dimulai sejak terjadinya kerusakan atau alih guna lahan.

SCC dalam konteks penentuan faktor emisi dan pelaporan PRK, dapat dimanfaatkan berbasis data lokal sesuai dengan luasan area, kepadatan, biomassa maupun persentase tutupan padang lamun. Sehingga faktor emisi juga dapat ditentukan dan disesuaikan dengan kondisi riil di daerah dimana padang lamun berada.

Hal ini cukup relevan dengan fakta bahwa kondisi padang lamun akan berbeda di satu tempat dengan tempat lainnya mengikuti skala mikro atau meso ekosistem. Artinya, dengan demikian SCC dapat memenuhi target Tier 2 (atau bahkan Tier 3) dalam konteks aksi mitigasi perubahan iklim.

Be First to Comment

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Mission News Theme by Compete Themes.
%d