Ular tanah (Calloselasma rhodostoma) dikenal sebagai hewan melata yang berbisa kuat. Tapi siapa mengira, bisa ular ini ternyata mengandung senyawa yang dapat mengobati kanker.
Penemuan potensi bisa ular tanah sebagai obat kanker merupakan wujud dari teknologi yang disebut OMICs (Genomics, transcriptomics, proteomics, dan metabolomics). Teknologi telah dimanfaatkan untuk mencari obat kanker berbasis peptita sebagai alternatif obat konvensional yang berbsis molekul kecil.
Riset obat kanker berbasis peptida ini sedang dilakukan oleh Departemen Kimia, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam (FMIPA) UGM bekerja sama dengan Pusat Riset Teknologi Radioisotop, Radiofarmaka, dan Biodosimetri, Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN).
Kuwat Triyana, Dekan FMIPA UGM, mengatakan data International Agency for Research on Cancer pada tahun 2020, terdapat 19,3 juta kasus kanker baru dan 10 juta kasus di antaranya menyebabkan kematian. Metode konvensional pengobatan kanker seperti pembedahan, kemoterapi, radioterapi, dan imunoterapi belum memberikan hasil yang optimal karena efek samping dari terapi kanker yang juga merusak sel normal dan sistem imun.
“Oleh karena itu, diperlukan inovasi untuk menemukan kandidat obat terapi kanker yang efektif dengan spesifisitas tinggi,” ucapnya, seperti dilansir BRIN.
Di sisi lain, venom ular mengandung campuran berbagai jenis protein dan peptida yang dilaporkan berpotensi memiliki aktivitas biologis berupa anti kanker, agen trombolitik, antimikroba, antivirus, dan antiparasit.
Spesies ular berbisa yang banyak ditemukan di berbagai daerah di Indonesia adalah ular tanah. Spesies ular ini termasuk ke dalam kelompok ular berbisa kuat. Pada penelitian sebelumnya, dua senyawa peptida dari venom ular tanah diketahui memiliki potensi sebagai antikanker terhadap cell line MCF-7.
Selanjutnya, diperlukan pula pemahaman yang mendalam tentang mekanisme farmakologis secara in vitro dan in vivo dari venom ular untuk dapat mengarah pada penemuan calon obat kanker baru.
“Radiopeptida adalah radiofarmaka dengan peptida yang digunakan sebagai pembawa radioisotop ke lokasi kanker dimana radiopeptida akan menarget reseptor peptida yang diekspresikan secara berlebihan (over expressed) pada jaringan kanker. Reseptor- reseptor ini merupakan target molekuler potensial pada awal munculnya kanker,” Isti Daruwati, Peneliti Pusat Riset Teknologi Radioisotop, Radiofarmaka, dan Biodosimetri BRIN.
Kerja sama riset ini bertujuan untuk lebih memahami interaksi dan mekanisme peptida sintesis venom ular tanah dengan protein reseptor. Departemen Kimia, FMIPA UGM mendukung penelitian dalam penyiapan peptida yang berasal dari turunan venom ular dan karakterisasinya. Sedangkan BRIN berperan dalam radiosintesis peptida serta uji in vitro baik peptida dan radiopeptida pada sel kanker tulang yaitu MG63 dan sel tulang normal yaitu HfOb dan sel kanker prostat yaitu LNCap dan DU145.
“Sejauh ini sudah ada 10 kandidat peptida yang cukup potensial sebagai obat antikanker dari lapangan yang kami ambil, namun bukti aktivitas uji in vitro masih terbatas. Dari 10 kandidat sudah kami kirim ke BRIN sejumlah empat,” kata Respati Tri Swasono, Peneliti dan Dosen Kimia FMIPA UGM.
Pengujian aktivitas anti kanker beberapa peptida sintesis turunan venom ular tanah akan dilakukan secara in vitro dengan mengikatkan radioisotop pada peptida untuk mengetahui afinitas peptida tersebut di berbagai macam sel kanker. Diharapkan output yang dihasilkan melalui kolaborasi ini menunjukkan bahwa venom ular tanah dapat menunjukkan aktivitas antikanker yang signifikan dan interaksi serta mekanisme aksinya dengan protein reseptor dapat diketahui. Selain itu, peptida dan radiopeptida yang diperoleh juga diharapkan akan menjadi kandidat obat baru atau radiofarmaka baru untuk kanker.
Be First to Comment