Press "Enter" to skip to content
Dok. commons.wikimedia.org/publicdomain

Tambora, ‘Sang Penakluk’ Napoleon Bonaparte

Gunung Tambora, Nusa Tenggara Barat. Saya pernah berkunjung ke kakinya sekitar 13 tahun lalu. Membongkar kisah penggalian ilegal yang dilakukan seorang arkeolog Amerika Serikat di situs berkas perkampungan yang habis terbakar dan terkubur letusan Gunung Tambora pada 1815.

Tapi letusan Tambora tidak hanya menenggelamkan puluhan desa di sekitarnya, meluluhlantakkan kerajaan yang ada di wilayah Nusa Tenggara Barat pada saat itu, dan menewaskan lebih dari 100 ribu orang. Dampak letusan Tambora juga terasa sampai ke belahan Bumi lainnya, mengubah iklim Bumi pada waktu itu.

Dan bahkan, letusan Tambora disebut telah berkontribusi pada kekalahan Napoleon Bonaparte di Pertempuran Waterloo di Belgia, pada Juni 1815, dua bulan setelah letusan Tambora. Pertempuran Waterloo ini mengakhiri kekaisaran Napoleon.

Sejarawan mencatat, kekalahan pasukan Perancis di bawah pimpinan Kaisar Napoleon terhadap pasukan Inggris dan Sekutu terjadi akibat kesulitan mereka bergerak di kondisi yang hujan dan penuh lumpur. Rupanya penyebab hujan deras berkepanjangan itu ada hubungannya dengan letusan Tambora.

Dr Matthew Genge dari Imperial College London mendapati bahwa debu vulkanis yang mengandung listrik dari letusan Tambora telah menyebabkan semacam korsleting di aliran listrik yang ada di lapisan Ionosfer Bumi, yaitu lapisan yang bertugas membentuk awan. Situasi ini melahirkan hujan berkepanjangan di seluruh Eropa.

Penelitian yang dimuat di jurnal Geology terbaru, menjadi semacam konfirmasi adanya hubungan antara erupsi Tambora dan kekalahan Napoleon.

Penelitian itu menunjukkan bahwa erupsi membubung ke langit lebih tinggi dari yang pernah diperkirakan. Ketinggiannya mencapai 100 kilometer di atas permukaan tanah. “Ahli Geologi sebelumnya berpikir bahwa debu vulkanis hanya terperangkap di lapisan atmosfer yang lebih rendah,” katanya, seperti dilansir Daily Mail.

Bagaimana debu vulkanis bisa mencapai ketinggian itu? Rupanya itu semua berkat aliran listrik yang dibawa debu vulkanis dan menyebabkan terjadinya tenaga korsleting yang mengangkat debu lebih tinggi lagi. Untuk membuktikan ini, Dr Genge membuat sebuah model dan mendapati bahwa partikel yang sangat halus bisa mencapai Ionosfer saat letusan.

“Debu dan material letusan semua mengandung aliran negatif sehingga efeknya adalah seperti mempertemukan dua magnet berkutub sama, mereka akan saling menolak,” ujar Dr Genge.

Hasil eksperimen ini konsisten dengan rekaman sejarah mengenai letusan gunung yang lain. Dr Genge memeriksa catatan cuaca setelah letusan Gunung Krakatau pada 1883 dan letusan Gunung Pinatubo di Filipina pada 1991. Data mencatat suhu rata-rata lebih rendah, curah hujan menurun, ada gangguan di ionosfer, termasuk terbentuknya awan noctilucent yang amat langka. Dia menduga, kemunculan awan ini adalah bukti adanya angkatan debu ke ketinggian akibat aliran listrik.

Be First to Comment

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Mission News Theme by Compete Themes.