Entah apa yang menarik minat orang-orang Tionghoa untuk datang ke Nusantara. Apakah mereka sengaja datang untuk berniaga, mencari komoditi perdagangan dari Nusantara, atau karena tersesat terbawa angin sehingga “terdampar” di satu tempat di Nusantara. Kita tidak tahu dengan pasti, bilamana mereka datang ke Nusantara karena tidak ada satupun sumber tertulis yang menyebutkan tentang kedatangannya.
Beberapa sumber tertulis dan data arkeologi yang sampai kepada kita, orang-orang yang datang ke Nusantara adalah orang dari pantai selatan/tenggara India. Mereka datang dari suatu tempat yang bernama Arikamedu dengan membawa komoditi perdagangan yang diproduksi dari tempat itu. Barang-barang tersebut berupa barang tembikar. Bukti keberadaan para saudagar India ini ditemukan di situs-situs arkeologi di pantai timur Sumatra, pantai utara Jawa Barat, dan pantai utara Bali.
Dalam melakukan aktivitas niaganya, para saudagar ini tidak mustahil berhubungan juga dengan Tiongkok. Boleh jadi saudagar India berhubungan dagang dengan saudagar Tionghoa di pelabuhan-pelabuhan yang disinggahi. Kerapnya komunikasi di antara mereka, pada akhirnya membawa saudagar Tionghoa ini untuk berniaga ke Nusantara.
Bermula dari hubungan perdagangan antara Tiongkok dengan kerajaan-kerajaan lain di luar Tiongkok, misalnya dengan Arab, India, Asia Tenggara daratan, Nusantara, dan Jepang. Berdasarkan data tertulis yang berupa catatan harian para musyafir Tionghoa dan komoditi perdagangan Tiongkok yang pada masa itu berupa barang-barang keramik, dapat diketahui bahwa masyarakat di Nusantara telah berhubungan dengan Tiongkok sekurang-kurangnya sejak kuartal pertama millenium pertama Masehi. Sebelum itu memang sudah ada tetapi tidak berhubungan secara langsung.
Bukti-bukti arkeologis dan sejarah menunjukkan bahwa pelayaran niaga melintasi Laut Tiongkok Selatan untuk pertama kalinya terjadi antara abad ke-3 dan abad ke-5 Masehi. Tetapi bukti yang pasti mengenai pelayaran niaga antara Nusantara (Indonesia) dan Tiongkok berasal dari abad ke-5 Masehi. Keadaan pelayaran itu diberitakan oleh dua orang Bhiksu Buddha, yaitu Fa Hsien dan Gunawarmman.
Intensitas tinggi hubungan perdagangan dengan Tiongkok terjadi pada kurun waktu abad ke-7 sampai 13 Masehi. Pada masa itu komoditi yang diperdagangkan dari Tiongkok berupa barang-barang keramik, sedangkan dari Nusantara berupa hasil bumi (rempah-rempah), hasil tambang (emas), dan hasil hutan (kapur barus). Masyarakat dari kedua bangsa ini melakukannya secara tidak resmi, tetapi bukan berarti illegal.
Kunjungan resmi oleh utusan kaisar Tiongkok mungkin baru dilakukan pada tahun 449 Masehi, yaitu oleh Kaisar Liu Song. Inilah awal kunjungan resmi orang Tionghoa ke Nusantara. Selanjutnya orang-orang Tionghoa yang datang ke Nusantara atau orang dari kerajaan di Nusantara ke Tiongkok menjadi semakin banyak dengan urusan yang berbeda-beda (perdagangan, agama dan politik).
Jauh sebelum ekspedisi ekspedisi pelayaran yang dipimpin Laksamana Besar Chêng Ho ke berbagai negeri di Lautan Selatan (termasuk Nusantara) dan Barat pada awal abad ke 15 Masehi, para pedagang Tionghoa sejak awal millenium pertama Masehi sudah banyak mendatangi beberapa daerah Nusantara dalam rangka melakukan hubungan perdagangan. Kecuali berhubungan dengan beberapa daerah di Nusantara, Kekaisaran Tiongkok juga berhubungan dengan India terutama dalam hubungan perdagangan internasional yang menghubungkan daerah Asia Barat India Asia Tenggara dan Tiongkok. Lalu lintas hubungan pelayaran dan perdagangan internasional yang menghubungkan negeri negeri yang berada di wilayah Asia Barat – Asia Selatan Asia Tenggara dan Asia Timur Jauh melalui Selat Melaka itu telah banyak dibicarakan oleh beberapa ahli antara lain O.W. Wolters, J.C. van Leur, M.A.P. Meilink Roelofsz, G.F. Hourani, dan Rita Rose Di Meglio.
Hubungan pelayaran dan perdagangan antar negeri negeri di wilayah tersebut terutama didorong oleh tumbuh dan berkembangnya tiga kerajaan besar sejak abad ke 7 Masehi, yaitu masa kekuasaan Dinasti T’ang di Tiongkok, masa kekuasaan Śrīwijaya di Asia Tenggara, dan kekuasaan Bani Umayyah di Asia Barat (Timur Tengah). Kita ketahui dari berita Tionghoa tentang kunjungan musyafir Buddhis I-tsing dalam perjalanannya ke India dan sekembalinya singgah di Shih li fo shih atau San Fo Ji atau Fo shih yang oleh G. Cœdés diidentifikasikan dengan Śrīwijaya. Kota inilah yang kemudian dianggap sebagai ibukota Shih li fo shih atau San Fo Ji atau Fo shih dan yang kemudian menjadi Palembang. Kecuali orang orang Tionghoa dan orang orang India, menurut salah sebuah sumber juga orang orang Arab dan Persia telah ada kehadirannya di ibukota Kadātuan Śrīwijaya.
I tsing pada tahun 671 Masehi dalam pelayarannya ke India singgah di ibukota Shih li fo shih dan menetap beberapa tahun untuk mempelajari kitab kitab ajaran Buddha dan juga mempelajari gramatika bahasa Sansekerta. Kapal yang ditumpangi I tsing ialah kapal orang orang Ta shih dan Posse (Arab dan Persia). Sumber Tionghoa lainnya dari awal abad ke-8 Masehi (717 Masehi) menyebutkan 35 kapal Posse (Persia) sampai pula di Palembang. Bahkan hubungan politik dan diplomatik antara Śrīwijaya dengan Khalifah di Timur Tengah juga ada pada sekitar abad ke 7-8 Masehi sebagaimana dibuktikan oleh surat surat yang dikirimkan Mahārāja Śrīwijaya kepada Khalifah Mu’awiyah (661 Masehi) yang bagian pendahuluan surat tersebut telah dikutip oleh Al Jahizh (Amr Al Bahr, 165-255 Hijriah = 783-869 Masehi) dalam karyanya, Al Hayawan. Selain itu ada surat kedua yang isinya hampir serupa tetapi lebih lengkap dan surat ini diselamatkan oleh Ibn ‘Abd. Al-Rabbih (246-329 Hijriah = 860-940 Masehi) dalam karyanya, Al ‘Ikd Al Farid. Surat tersebut dialamatkan kepada Khalifah Umar bin ‘Abd Al ‘Aziz (99-102 Hijriah = 717-720 Masehi). Hubungan antara negeri negeri di Timur Tengah dengan Kadātuan Śrīwjaya terus menerus dilakukan kecuali menjelang akhir abad ke 12 Masehi memasuki abad ke 13 Masehi. Hal itu mungkin disebabkan adanya pengaruh kekuasaan politik kerajaan kerajaan di Jawa antara, lain Siŋhasāri yang pada sekitar tahun 1275 Masehi mengirimkan ekspedisinya yang terkenal dengan Pamalayu. Karena ketika itu juga terjadi pengaruh politik kekuasaan kekaisaran Tiongkok di bawah Kublai khan ke daerah daratan Asia Tenggara.
Sejalan dengan lajunya intensitas perdagangan, tentu saja terjadi kontak budaya antara Tiongkok dan Nusantara, antara lain dalam bidang agama/ajaran. Biasanya dalam sebuah armada dagang, turut juga bhiksu Buddha, misalnya Fa Hsien (abad ke-5 Masehi) dan I tsing (abad ke-7 Masehi). Sebuah prasasti yang ditemukan di Kanton (Guangzhow, Guangdong) menyebutkan pada tahun 1067-1079 Masehi seorang penguasa Śrīwijaya membantu pemugaran sebuah kuil Tao yang bernama Tien Qing di Kanton. Selain membantu pembangunan kembali kuil Tao, penguasa itu juga membeli tanah pertanian di sekitar kuil yang hasilnya digunakan untuk pemeliharaan kuil.
Pada masa-masa yang kemudian, tidak hanya kerajaan di Nusantara yang membantu Tiongkok, Kaisar Tiongkok pun membantu salah satu kerajaan di Nusantara. Di Muara Jambi ditemukan sebuah gong yang bertulis tentang pemberian gong tersebut oleh Kaisar Chao Jing pada tahun 1331 Masehi untuk ditempatkan di sebuah bangunan suci.
Pada masa Majapahit (abad ke-14-15 Masehi), hubungan dengan kekaisaran Tiongkok lebih intensif lagi. Mungkin sistem moneter Kerajaan Majapahit juga mengikuti sistem moneter Tiongkok. Banyaknya koin Tiongkok yang ditemukan di Nusantara (Jawa Timur) menunjukkan hal itu. Kedatangan Chêng Ho ke beberapa tempat di Nusantara, seperti Gresik, Majapahit, Palembang, Lambri (Banda Aceh), dan Samudra Pasai pada tahun 1404-1409 sesungguhnya merupakan misi kebudayaan utusan Kekaisaran Tiongkok (Yung Lo), bukan misi “kapal meriam” yang merupakan unjuk kekuatan. Bahkan di Palembang turut membantu menumpas bajak laut Tionghoa yang bernama Liang Tau Ming.
Hubungan khusus antara Tiongkok dengan kerajaan kerajaan di Nusantara baik mengenai perdagangan maupun persahabatan (politik dan agama) banyak diberitakan dalam sumber Tionghoa. Dalam kitab Ming shih diceritakan bahwa tahun 1379 ada hubungan antara Tiongkok dengan kerajaan di bagian Timur Sumatra yang disebut San Fo Ji, suatu nama yang diidentifikasikan dengan Palembang. Tentang lawatan Laksamana Chêng Ho ke San Fo Ji juga diceritakan dalam Ming shih. Disebutkannya bahwa pada tahun 1405 Palembang ada di bawah kekuasaan Jawa, tetapi Kekaisaran Tiongkok memerintahkan Melaka untuk mengakui kekuasaan Palembang.
Terjalinnya hubungan dagang, agama, dan politik dengan Tiongkok di masa lampau, tidak mustahil timbul pula komunitas-komunitas Tionghoa di beberapa tempat di Nusantara. Beberapa kota di Nusantara yang menunjukkan identitas kentalnya unsur budaya Tiongkok, masih dapat ditemukan di Palembang, Tuban, Lasem, dan Singkawang. Bahkan di Jakarta pun masih ditemukan unsur budaya Tiongkok yang intangible.
Pada bagian ketiga nanti, kita akan membahas soal budaya Tionghoa dan pengaruhnya di Nusantara.
Penulis: Bambang Budi Utomo (Puslitarkenas)
Be First to Comment