Tengkorak asmat dan patung korwar dengan tengkorak kepala dari Teluk Cenderawasih atau Geelvinbaii dijual secara online di Belanda yaitu Rootz Gallery dengan akun instagram @rootz.gallery, tengkorak manusia Papua ini didapatkan secara ilegal. Tengkorak ini merupakan benda budaya yang dijual di Eropa, tetapi secara kemanusiaan, tengkorak tersebut merupakan tengkorak manusia Papua yang harus dikembalikan ke Papua.
Tengkorak-tengkorak tersebut sampai di Eropa, diduga diperoleh secara illegal, tidak ada bukti jual beli yang diakui negara maupun pelepasan yang diakui hukum adat, serta tidak disertai surat-surat resmi lainnya. Sehingga bagi pihak luar negeri tidak ada legalitas hukum bagi mereka yang yang memperoleh benda cagar budaya Papua.
Selain itu benda cagar budaya Papua dilindungi Undang-undang No. 11 Tahun 2010 tentang cagar budaya. Menurut undang-undang ini perdagangan benda cagar budaya dianggap ilegal dan melarang perdagangan artefak ke luar negeri.
Pemerintah Indonesia bisa menuntut negara-negara, lembaga, museum maupun perorangan di luar negeri yang mengoleksi benda cagar budaya Papua guna mengembalikannya ke Papua. Untuk itu, Pemerintah Indonesia perlu melakukan pendekatan diplomasi antar negara maupun pendekatan hukum melalui pengadilan internasional guna mendapatkan kembali benda cagar budaya tersebut.
Pemerintah Indonesia perlu belajar dari Italia dan Mesir yang berjuang mendapatkan kembali benda cagar budayanya yang ada di luar negeri. Di mana Pemerintah Italia sering mengadakan perundingan dengan museum-museum luar negeri yang mengoleksi benda cagar budaya Romawi, dengan harapan menghasilkan suatu kesepakatan yang menghindarkan penuntutan hukum tetapi menjamin penguasaan Italia atas benda-benda cagar budaya itu.
Sementara Pemerintah Mesir membentuk lembaga khusus untuk mengembalikan artefak-artefak asal Mesir ke negara itu, pengadilan-pengadilan Amerika Serikat mengakui keabsahan tuntutan-tuntutan Mesir.
Diperkirakan lapangan terbang perintis di wilayah pedalaman Papua selama ini digunakan sebagai jalur penyelundupan benda-benda bernilai budaya ke luar negeri. Lapangan terbang perintis yang rawan penyelundupan benda budaya Papua, antara lain lapangan terbang Kapeso, Dabra, dan Kasonaweja di Kabupaten Mamberamo Raya, serta Kobakma dan Kelila di Kabupaten Mamberamo Tengah.
Lapangan terbang lain yang diduga menjadi tempat penyelundupan adalah Mararena di Kabupaten Sarmi, Bokondini, Apalapsili, dan Oksibil di Kabupaten Pegunungan Bintang. Selain itu, juga lapangan terbang Illaga, Sinak, Tiom dan Ilu di Kabupaten Puncak, Yuruf di Kabupaten Jayawijaya, dan Ewer di Kabupaten Asmat.
Lapangan terbang ini hanya bisa didarati pesawat terbang propeler tipe Twin Otter dan helikopter. Lapangan terbang perintis ini tidak dilengkapi dengan peralatan detektor X-ray.
Benda budaya asal Papua memiliki nilai jual tinggi di luar negeri. Tahun 2017, tengkorak asal Asmat dilelang di Australia, dan berhasil digagalkan oleh Kedutaan Besar RI di Australia. Tidak hanya itu, tengkorak manusia di gua-gua Raja Ampat hilang, yang diduga diambil oleh wisatawan asing.
Benda-benda budaya Papua ini bisa lolos ke luar negeri, dari pedalaman Papua diduga salah satunya dibawa melalui jalur penerbangan perintis, kemudian dilanjutkan jalan darat atau jalur laut ke Papua Nugini.
Untuk mengantisipasi penyelundupan berlangsung terus, perlu dilakukan pencegahan dengan pengawasan dan pemeriksaan ketat oleh instansi terkait, seperti Bea Cukai di wilayah perbatasan dengan Papua Nugini.
Situs penguburan prasejarah di Teluk Cenderawasih, meliputi Biak, Supiori, Yapen, Numfor, Teluk Wondama dan pulau-pulau kecil di lepas pantai Nabire. Penguburan prasejarah ini terletak di daerah yang sulit dijangkau, yakni di celah-celah tebing-tebing karst daerah tersebut. Mayat yang dimakamkan di dalam gua itu dilengkapi dengan sejumlah peralatan atau bekal kubur. Tengkorak-tengkorak dari Teluk Cenderawasih banyak yang hilang.
Untuk daerah pesisir, para wisatawan diperkirakan membawa tengkorak kepala dengan menggunakan kapal pesiar lintas negara. Dari informasi warga, para wisatawan itu membayar mahal penduduk setempat untuk memandu mereka menuju ke situs penguburan tersebut. Mereka tidak berkoordinasi dengan Balai Arkelogi Papua maupun dinas terkait.
Penulis: Hari Suroto (arkeolog, tinggal di Jayapura) Bisa dihubungi di Instagram: @surotohari
Be First to Comment