Tradisi menangkap hasil laut untuk kebutuhan makan sehari-hari dengan menggunakan peralatan yang sederhana oleh masyarakat pesisir utara Papua adalah nilai-nilai budaya dalam bentuk kearifan lokal yang ikut membantu upaya konservasi alam. Hanya diperkenankan menggunakan alat sederhana seperti pancing tanpa umpan atau bacigi sehingga tidak merusak sumber daya laut, sekadar bisa hidup sehari-hari yang dikenal dengan tradisi balobe dan bemeti.
Balobe adalah tradisi mencari hasil laut pada malam hari pada saat bulan gelap dengan menggunakan alat tombak dari kayu yang biasa disebut kalawai. Di ujung kalawai terdapat besi bermata tiga yang tajam.
Hanya menggunakan insting nelayan sudah mengetahui waktu yang tepat dengan melihat kondisi alam. Bulan gelap menunjukkan kerumunan ikan tidak akan jauh-jauh berekspansi atau memiliki penglihatan yang terbatas sehingga ikan nampak jinak. Dibantu oleh penerang lampu petromaks pelobe sangat mahir menghujamkan tombak mengenai sasarannya.
Dengan balobe orang-orang pesisir utara Papua membawa pulang hasil tangkapan berupa ikan, udang lobster, teripang, dan gurita. Menangkap ikan dengan kalawai tidak merusak biota laut karena sasaran tombak sangat selektif. Berbeda kalau menggunakan bahan racun, bom atau alat strum ikan bisa merusak lingkungan dan berbahaya bagi pelobe itu sendiri.
Cara lain untuk menangkap ikan yang dilakukan oleh anak-anak dan orang dewasa adalah molo ikan, yaitu menangkap ikan dengan cara menyelam di kedalaman laut dengan menggunakan kacamata molo dan dilengkapi senapan panah yang dibuat dari kayu. Peluru pelontar dari kawat yang ditajamkan ujungnya.
Tradisi yang paling lama semenjak belum ditemukan alat tangkap ikan di Papua adalah bameti. Bameti adalah kegiatan memungut hasil-hasil laut ketika air laut sedang surut atau bahasa daerahnya air laut sedang meti, berlangsung pada malam maupun siang hari. Terutama daerah pesisir yang landai dan menjorok sehingga ketika surut nampak kolam-kolam kecil dan batu karang.
Berbeda dengan balobe yang biasa dilakukan oleh nelayan, kegiatan bameti biasanya dilakukan oleh tiap-tiap keluarga untuk mengisi waktu-waktu senggang sambil rekreasi, dan dimanfaatkan ajang pertemuan dengan keluarga yang lain dalam satu kampung.
Menggunakan peralatan seadanya seperti panah dari lidi yang menggunakan karet gelang lalu ditembakkan; alat cungkil kerang, dan baskom/serok penangkap. Mencari ikan karang, udang lobster yang terdampar dan beragam jenis kerang laut, bia/tiram. Biasanya hasil buruan dimakan di pinggir pantai dan sisanya dibawa pulang untuk dimakan sendiri atau dibagikan kepada tetangga.
Molo (menurut dialek setempat) artinya menyelam untuk menangkap ikan dengan alat bantu panah untuk memanah ikan. Molo merupakan teknik penangkapan yang dikenal secara turun temurun biasanya diwariskan kepada generasi yang lebih muda.
Lama waktu menyelam bervariasi tergantung keahlian nelayan yang sering melakukan aktivitas ini. Yang menarik penyelaman dilakukan tanpa menggunakan alat selam, selain kaca mata selam. Alat bantu lainnya yaitu sejenis panah ikan atau dalam dialek setempat dikenal dengan nama “jubi”. Jubi biasanya terbuat dari variasi beberapa material antara lain kayu, kawat, karet dan besi.
Pada saat melakukan molo, nelayan biasanya menghabiskan waktu 2-3 jam dengan kedalaman penyelaman yang bervariasi berkisar antara 10-20 menit untuk mendapatkan tangkapan. Penyelaman biasanya dilakukan pada malam hari saat bulan tidak bersinar terang atau dalam istilah setempat saat “bulan gelap”. Dalam suasana bulan gelap, diyakini bahwa kepekaan ikan terhadap hadirnya nelayan akan berkurang dan mereka tidak dapat melihat nelayan yang menyelam. Oleh karena itu jangan heran kalau pada kondisi seperti ini nelayan bisa membawa pulang hasil tangkapan yang cukup baik.
Penulis: Hari Suroto (arkeolog, tinggal di Jayapura) Bisa dihubungi di Instagram: @surotohari
Be First to Comment