Kalau kalian membaca informasi mengenai arkeologi, pasti pernah mendengar istilah situs arkeologi. Begitu juga mahasiswa yang kuliah di Universitas Cenderawasih, Papua.
Pada awal perkuliahan pengantar arkeologi di kelas yang diikuti oleh mahasiswa antropologi Universitas Cenderawasih, biasanya pertanyaan pertama sebagai pengantar adalah apakah kalian mengetahui apa itu situs?
Mereka jawab tahu. Sebutkan contohnya? Jawabnya bervariasi tetapi intinya sama semua, ada yang jawab portalsains.org, www.uncen.ac.id, www.jayapurakab.go.id dan sebagainya.
Semua jawaban yang disampaikan mahasiswa merupakan situs-situs web (website). Sedangkan definisi situs arkeologi berbeda dengan situs web.
Situs arkeologi adalah lokasi ditemukannya artefak (budaya bendawi, seperti kapak batu), ekofak (budaya lingkungan, contohnya sisa makanan berupa cangkang kerang, tulang binatang) maupun fitur (artefaktual yang tidak dapat dilepaskan dari tempatnya, contoh gua hunian).
Contoh situs arkeologi di Papua yaitu situs Yomokho, situs megaĺitik Tutari, Situs Mac Arthur, dan sebagainya.
Apa yang disampaikan oleh para mahasiswa di Universitas Cendrawasih tadi menggambarkan bahwa kata “situs” sendiri sebetulnya sudah mengalami perkembangan. Kata “situs”, menurut kamus Merriam-Webster, dikenal sejak abad ke-14 yang lalu.
Situs adalah lokasi spasial tempat berdirinya struktur yang sudah jadi atau sedang direncanakan, atau lokasi berdirinya sekumpulan struktur, seperti: bangunan, kota, atau monumen. Dalam konteks arkeologi, situs adalah tempat berdirinya struktur atau bangunan arkeologis. Situs juga merupakan ruang di tanah yang diokupasi atau akan diokupasi oleh sebuah bangunan.
Pengertian lain, situs adalah tempat, lokasi, atau titik terjadinya sebuah peristiwa. Lalu, situs juga berarti satu atau lebih alamat Internet, di mana individu atau organisasi menyediakan informasi untuk orang lain.
Penulis: Hari Suroto (arkeolog, tinggal di Jayapura, Papua) Bisa dihubungi di Instagram: @surotohari
Be First to Comment