Akhirnya Badan kesehatan Dunia (WHO) mengumumkan status wabah virus corona atau COVID-19 sebagai pandemi. Sudah berpekan-pekan ilmuwan, politisi, dan sebagainya mendesak WHO menetapkan hal itu.
Pengumuman itu dikeluarkan setelah jumlah kasus COVID-19 naik 13 kali lipat di luar China. Sementara negara yang mengalami virus ini naik tiga kali lipat.
Penetapan status baru ini disebut tidak akan mengubah strategi WHO dalam menangani penyebaran COVID-19. Demikian dikatakan oleh Direktur Jenderal WHO Tedros Adhanom Ghebreyesus dalam konferensi pers Rabu (11/3), seperti dilansir Nature.
“Penetapan situasi sebagai pandemi tidak mengubah penilaian WHO terhadap ancaman yang ditimbulkan oleh virus corona ini. Itu tidak mengubah apa yang dilakukan WHO, dan itu tidak mengubah apa yang harus dilakukan oleh negara-negara,” kata Tedros. “Pandemi bukanlah kata untuk digunakan dengan ringan atau sembrono. Ini adalah kata yang, jika disalahgunakan, dapat menyebabkan ketakutan yang tidak masuk akal, atau penerimaan yang tidak adil bahwa pertarungan telah berakhir, yang mengarah pada penderitaan dan kematian yang tidak perlu.”
COVID-19 sudah melanda lebih dari 100 negara, menginfeksi sekitar 120.000 orang dan menewaskan lebih dari 4.000 orang. Sejumlah negara sudah menghentikan aktivitas sekolah dan Italia telah membatasi akses keluar masuk.
Dilansir dari CNN, sebuah wabah disebut pandemi apabila kasusnya sudah merebak ke berbagai negara dan benua di dunia. Pandemi terakhir adalah pandemi flu H1N1 pada 2009 yang menewaskan ratusan ribu orang di seluruh dunia.
Kata “pandemi” berasal dari bahasa Yunani “pandemos” yang berarti semua orang. Demos artinya populasi. Pan artinya setiap orang. Jadi, pandemos adalah sebuah konsep di mana ada kepercayaan bahwa seluruh populasi di dunia sudah terpapar infeksi virus ini dan berpotensi sakit.
“Ini bukan sekadar krisis kesehatan publik, ini krisis yang akan menyentuh berbagai sektor. Jadi, setiap sektor dan setiap individu harus terlibat di dalam peperangan ini,” tutur Tedros
Be First to Comment