Press "Enter" to skip to content

Sejarah Maritim Kita Panjang tapi Penelitiannya Masih Ketinggalan (Tulisan 2)

Pengertian Arkeologi Maritim dalam arti luas adalah studi tentang interaksi manusia dengan laut, danau, dan sungai melalui kajian arkeologis atas manifestasi material (dari) budaya maritim, termasuk di antaranya adalah angkutan air (vessels), fasilitas-fasilitas di tepian laut (pelabuhan, galangan kapal, menara api, dan benteng laut), kargo, bahkan sisa-sisa manusia (human remains) (Delgado 1997: 259-260, 436).. Dalam konteks ini arkeologi nautical (Nautical Archaeology) lingkupnya hanya berhubungan dengan laut (tanpa sungai dan danau), yang obyek penelitiannya semua aspek tentang kapal karam dan kapal kuno yang belum karam. Harap pula dicatat bahwa arkeologi bawah air yang lebih memfokuskan diri pada tinggalan-tinggalan bawah air (submerged remains). Ketiganya tidak terpisahkan satu sama lain.

Secara khusus Arkeologi Maritim mencakup empat segmen yang saling mengait. Pertama, tinggalan-tinggalan arkeologi yang berada di dasar laut. Kedua, aktivitas kemaritiman yang menyebabkan tinggalan tersebut berada di bawah laut. Ketiga, interkoneksi populasi antar-pulau bahkan antar negara dan benua dengan berbagai latar belakangnya. Keempat, perkembangan pelabuhan dan kota pesisir sebagai dampak aktivitas kemaritiman. Jika demikian lingkup penelitian Arkeologi Maritim sungguh amat luas dan semakin luas lagi jika dihubungkan dengan aktivitas kemaritiman yang sudah berlangsung jauh ke masa silam, sejak Zaman Prasejarah hingga sekarang.

Sesuai dengan pengertian Arkeologi Maritim dalam arti luas dan sambil menunggu pengembangannya, penelitian arkeologi bawah air untuk sementara dapat dimasukkan dalam penelitian arkeologi maritim.

Jelas bahwa pengembangan Arkeologi Maritim sangat penting bagi bangsa mengingat geografi Indonesia yang merupakan kawasan kepulauan yang dikelilingi oleh laut. Penelitian di bidang ini semakin penting ketika pengembangan dunia maritim Indonesia termasuk dalam program prioritas ke-1 dari Nawa Citta pemerintahan yang sekarang. Artinya penelitian yang akan dilakukan di bidang ini akan menunjang upaya-upaya pemerintah dalam mengelola kekayaan sumberdaya maritim untuk kemakmuran dan kejayaan bangsa.
Kondisi inilah yang mendasari penelitian Arkeologi Maritim sebagai salah satu dari tiga program unggulan Pusat Penelitian Arkeologi Nasional dalam 10 tahun ke depan. Melalui penelitian kita melawan lupa bahwa negara kepulauan terbesar di dunia ini telah memiliki sejarah kemaritiman yang sangat panjang.

Langsung atau tidak langsung, Pusat Penelitian Arkeologi Nasional dan Balai Arkeologi – Balai Arkeologi telah melakukan penelitian Arkeologi Maritim. Untuk menyebut beberapa, ada penelitian di situs-situs perahu kuno yang kandas di daerah rawa atau sungai mati, seperti di Bukit Jakas (Manguin & Nurhadi 1987), Situs Samirejo, Situs Tulung Selapan (Koestoro 1993), dan beberapa situs di daerah Air Sugihan. Ada juga penelitian benteng-benteng laut di kawasan timur Indonesia, menara api di Tanjung Kelian, Pulau Lengkuas, Pulau Pelepas (Aryandini Novita 2009), dan perahu kuno di Punjulharjo (Abas 2009: 46-59).

Melalui eksplorasi kapal-kapal karam di wilayah perairan Nusantara, yang dilakukan oleh Kementerian Kelautan dan Direktorat Purbakala bekerjasama dengan Angkatan Laut dan pihak swasta yang terkait, serta tingkat analisis yang dibantu oleh Pusat Penelitian Arkeologi Nasional, diperoleh beberapa tinggalan kapal karam dan muatannya, antara lain di Belitung Wreck abad ke-9-10; Cirebon abad ke-9-12; Intan Wreck abad ke-10-12; Java Sea Wreck abad ke-10-12; kapal karam dari abad ke-12-14, yaitu Pulau Buaya (Riau), Karang Cina, Jepara, dan Tuban. Kapal karam dan muatannya dari abad ke-15—20, antara lain Karawang, Nanking, Tek Sing, Teluk Sumpat, dan Heliputan, kapal karam di perairan Subang atau dikenal dengan Blanakan Wreck, serta Karang Batang di perairan Jepara. Jenis barang-barang itu persebarannya meluas dan menjadikan kejayaan perdagangan di Nusantara, terutama di daerah-daerah kerajaan ataupun kasultanan.

Kenyataan seluruh penelitian tersebut belum terintegrasi dalam satu kerangka kajian Arkeologi Maritim. Secara umum kegiatan penelitian arkeologi bawah air, untuk saat ini Indonesia masih jauh tertinggal jika dibandingkan dengan negara-negara Asia lainnya. Padahal Indonesia adalah sebuah Negara Kepulauan yang banyak terdapat situs arkeologi bawah air di perairannya. Hal ini dapat dimengerti karena terbatasnya sumberdaya manusia dan sumber dana. Dana sangat diperlukan untuk keperluan peralatan dan sewa kapal untuk latihan atau eksplorasi. Belum lagi untuk melakukan kajian kartografi pada peta-peta kuno dan peta-peta laut.

Permasalahan dalam penelitian Arkeologi Maritim tidak terlepas dari fakta-fakta sejarah yang mengabaikan Indonesia sebagai Negara Maritim. Kita mulai dari Sulawesi Selatan dengan keberadaan kerajaan kembar Gowa-Tallo atau Kerajaan Makassar. Pada awalnya, merupakan negeri-negeri kecil yang berupa kumunitas lokal bernama Kasuwiang, dimana yang menjadi raja berlaku sebagai hakim (penengah) dalam pertikaian. Pada masa pemerintahan Sultan Hasanuddin (1653-1669) Kerajaan Makassar mengalami masa kejayaan.

Wilayah kekuasaannya hampir separuh wilayah Indonesia sekarang hingga ke pantai utara Australia. Hampir seluruh perairan dan selat dikuasai oleh kerajaan ini. Pada masa itu dikeluarkan Amanna Gappa, atau “Ade allopi loping bicaranna pa’balu baluE”, yang artinya kira-kira “Etika pelayaran dan perdagangan”. Peraturan etika ini lahir pada tahun 1676, semacam undang-undang kelautan pada masa kini (Tobing 1961). Untuk menguasai kerajaan ini Belanda bersekutu dengan kerajaan-kerajaan di Maluku. Pada akhirnya Makassar berhasil ditaklukkan dan dibuat Perjanjian Bungaya pada 16 November 1667. Pelabuhan Makassar tertutup bagi kapal-kapal asing dan perdagangan dibatasi. Dengan “diundangkannya” Perjanjian Bungaya, Amanna Gappa pelabuhan Makassar tertutup bagi kapal-kapal asing dan aktivitas perdagangan dibatasi. Namun meskipun Kerajaan Makassar terikat dengan Perjanjian Bungaya, para pelaut/saudagar Bugis yang berpegangan pada etika Amanna Gappa tetap melakukan perdagangan. Disini hendak dikatakan bahwa lahirnya etika Amanna Gappa adalah wujud baru kebangkitan para saudagar dari kekalahan perang, dalam bentuk imperium ekonomi yang wilayah kekuasaannya ada di pasar-pasar, di dermaga-dermaga dan seluruh jalur-jalur pelayaran Bugis/Wajo. Untuk menopang mekanisme perdagangan pada akhirnya mereka menciptakannya menjadi undang-undang.

Jatuhnya Makassar di Sulawesi dan Kesultanan Demak di Jawa, maka jatuhlah dominasi kebaharian Bangsa Bahari di tanah-airnya sendiri. Secara politik dan institusional kerajaan, kebaharian sudah dimatikan oleh penjajah. Ditambah lagi dengan Politik “Tanam Paksa” (Cultuur Stelsel) yang dijalankan oleh Pemerintah Hindia-Belanda, lengkap sudah usaha “mendaratkan” Bangsa Bahari. Meskipun demikian semangat kebaharian misih hidup pada sukubangsa-sukubangsa bahari yang hidup di pesisiran dan perairan dangkal. Karena secara politik aktivitas kebaharian ditinggalkan, dan aktivitas keagrarisan dimunculkan hingga akhirnya seolah-olah menjadi Bangsa Agraris, pada akhirnya budaya bahari mulai dilupakan. Nelayan tidak lagi menangkap ikan, tetapi nelayan mencari ikan.

Seharusnya nelayan menangkap ikan karena di “halaman” rumahnya banyak ikan. Dalam hal sarana pemersatu Nusantara yang diwujudkan dalam bentuk perahu, kondisinya juga mengkhawatirkan. Para pengrajin pembuat perahu semakin berkurang. Hal ini disebabkan karena sulit dan mahalnya kayu sebagai bahan baku pembuat perahu. Dengan demikian, lama kelamaan pembuatan perahu tradisional akan punah sejalan dengan punahnya hutan pemasok bahan baku kayu. Pada masa kini banyak perahu tradisional yang tidak tradisional lagi dibuat dari bahan fiber.

Melihat pemaparan tersebut, maka permasalahan yang muncul adalah mencari dan mengetahui persebaran manusia yang menghuni Nusantara hingga terbentuknya sukubangsa-sukubangsa yang multi-kultur, terbentuknya jaringan pelayaran dan perdagangan, dan terbentuknya kerajaan-kerajaan maritim yang berpengaruh. Kajian itu dilakukan berdasarkan telaah Arkeologi Maritim sehingga dapat memperoleh kejelasan mengenai benang merah kesamaan budaya benda (tangible) dan tak benda (intangible) yang muncul pada suku-suku bangsa penghuni Nusantara tersebut.

Kekayaan tinggalan bawah laut, keunggulan-keunggulan laut para pendahulu di Nusantara, serta nilai-nilai sejarah, budaya, dan kearifan-kearifan lokal kemaritiman Nusantara menjadi sebuah lahan penelitian yang sangat penting dilakukan ke depan. Manusia purba yang berhasil mencapai Jawa dalam konteks migrasi Out of Africa. Penutur Austronesia yang menyebar ke seluruh wilayah kepulauan berbekal kemahiran dalam pelayaran. Śrīwijaya yang berhasil menguasai belahan barat Nusantara. Kerajaan Demak dengan kekuatan laut yang berani menyerang Portugis jauh di Melaka, meskipun akhirnya mengalami kekalahan. Semuanya itu merupakan contoh-contoh yang perlu diteliti dalam kajian Arkeologi Maritim.

Dalam hal ini penelitian dimaksudkan untuk menarik benang merah keterkaitan maritim masa lampau dengan masa sekarang dan masa datang dalam mendukung pengembangan Negara Maritim Indonesia. Hasil-hasil penelitian akan memberikan pemahaman akan nilai-nilai kultural dan natural laut Indonesia, sekaligus memperkaya dan memantapkan konsep kemaritiman nusantara, termasuk juga merekomendasikan kebijakan-kebijakan dan implementasi pencapaiannya ke depan. Melalui penelitian akan memberikan outcome akan betapa pentingnya Arkeologi Maritim dalam memajukan Negara Maritim di masa sekarang.

Penulis: Bambang Budi Utomo (Pensiunan Peneliti di Pusat Penelitian Arkeologi Nasional)

Be First to Comment

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Mission News Theme by Compete Themes.