Hujan, banjir bandang, tanah longsor, dan tanah retak, itulah yang mewarnai Pulau Jawa pada musim ini. Hujan adalah anugerah Allah yang wajib kita syukuri, tetapi tiga yang lain dapat dikatakan ulah manusia yang semena-mena terhadap lingkungannya.
Masalah tersebut memang sudah lama dialami manusia. Dari pengalaman itulah mereka belajar bagaimana mengelola lingkungan dengan arif. Bagi nenek moyang kita, masalah ini bukan merupakan hal baru. Mereka mempunyai kearifan tersendiri dalam mengelola lingkungannya.
Sejumlah prasasti dan naskah kuna yang membicarakan lingkungan hidup banyak dikeluarkan oleh raja yang berkuasa pada masa itu. Prasasti pertama yang memberitakan tentang pengelolaan lingkungan adalah Prasasti Tugu yang dikeluarkan Purnawarmman dari Tarumanagara pada abad V Masehi. Di dalam prasasti itu diberitakan penggalian dua saluran, yaitu Candrabhaga dan Gomati. Kedua batang kanal tersebut, Candrabhaga digali melalui keraton untuk mengalirkan air ke laut, dan Gomati digali melalui tempat tinggal nenek raja.
Para pakar menduga bahwa pusat pemerintahan Tarumanagara terletak di daerah Tugu, Cilincing. Kalau betul dugaan para pakar tersebut, tentunya keraton terletak di daerah rendah yang sering terkena banjir ketika musim hujan. Penggalian saluran dilakukan pada sekitar bulan Februari-April, di mana pada bulan tersebut adalah bulan setelah musim hujan. Daerah rawa sedang tergenang air yang mungkin cukup dalam dan luas, serta air tidak dapat mengalir ke laut. Karena itulah Purnawarmman memerintahkan penggalian saluran.
Membuat Bendungan
Rupa-rupanya bukan cuma Purnawarmman yang dipusingkan masalah banjir. Lima abad kemudian, raja Airlangga dari Kerajaan Kadiri juga dipusingkan masalah banjir sebagaimana diberitakan dalam Prasasti Kamalagyan (1037 Masehi). Biang keladi dari masalah banjir yang selalu menimpa wilayah kerajaannya adalah Bengawan (Brantas) yang seringkali membanjiri daerah sekitarnya. Akibat dari banjir tersebut, sumber penghasilan kerajaan dari sektor pajak menjadi berkurang. Sebelumnya penduduk mungkin secara swadaya membuat tanggul-tanggul tetapi kurang kokoh, sehingga berkali-kali jebol dan banjir menggenangi daerah hilirnya. Banyak sawah dan desa yang tergenang air. Karena itulah raja mengerahkan seluruh rakyatnya untuk kerja-bakti membuat bendungan di Waringin Sapta.
Bendungan yang dibangun secara “nasional” itu demikian kokoh dan kuat sehingga terbendunglah aliran sungai (Brantas). Kini sungai tersebut alirannya dipecah menjadi tiga ke arah utara. Daerah-daerah sekitarnya tidak kebanjiran, hasil sawah menjadi berlipat, dan sumber penghasilan kerajaan dari sektor pajak bertambah.
Untuk menjaga kelestarian bendungan Waringin Sapta, Airlangga memerintahkan penduduk desa Kamalagyan untuk tinggal di dekatnya dengan tugas menjaga supaya jangan ada yang menghancurkan karya besar itu. Kompensasinya, pajak yang mereka harus setorkan kepada kas kerajaan dihapus dan dialihkan untuk pemeliharaan bendungan.
Sistem Waduk
Jagonya pengelolaan air di masa lampau adalah kerajaan Majapahit. Bekas kota di kerajaan ini, sebut saja Trowulan di Mojokerto, dipenuhi oleh gorong-gorong yang dibuat dengan konstruksi bata, parit-parit, serta beberapa buah waduk. Pada awalnya Majapahit memang dibangun dengan cara membuka hutan di daerah Trik oleh Raden Wijaya. Namun karena arealnya merupakan wilayah dengan musim kemarau yang panjang, jauh dari sungai besar dan peradabannya yang tumbuh memerlukan aktivitas penggundulan hutan, maka berubahlah menjadi daerah gersang seperti sekarang ini.
Raja tidak tinggal diam. Tindakannya adalah membangun waduk-waduk, dam, serta kolam buatan dengan saluran-saluran dan parit-parit penghubungnya. Waduk-waduk yang masih tersisa hingga sekarang, misalnya waduk Domas di sebelah timur kota Majapahit, waduk Kumitir di sebelah selatan, dan waduk Baureno di sebelah tenggara. Dari waduk Kumitir air dialirkan ke kolam Segaran melalui saluran yang dibuat dari bata. Kemudian dari Segaran air dialirkan ke arah utara yang tempatnya lebih rendah. Segaran adalah kolam artifisial yang dindingnya dibuat dengan konstruksi bata. Di mana letaknya?
Memasuki desa Trowulan, pada jarak sekitar 2 km ke arah selatan dari pertigaan jalan Mojokerto-Jombang, di tepi sebelah timur tampak sebuah kolam besar yang dindingnya dibuat dari bata. Itulah kolam yang dikenal dengan nama Segaran. Kolam ini untuk pertama kalinya ditemukan oleh Maclaine Pont pada tahun 1926 yang ketika itu sedang menekuni pencarian runtuhan kota Majapahit. Konon, menurut cerita penduduk kolam Segaran dipakai untuk membuang piring emas setelah raja Majapahit menjamu tamu yang diundang makan.
Kolam Segaran berukuran panjang 375 meter dan lebar 175 meter membujur arah timurlaut-baratdaya. Dinding-dindingnya dibuat dari bata dengan cara merekatkan satu bata dengan bata lain tidak dengan bahan perekat, tetapi dengan cara menggosoknya. Ketebalan dinding 1,60 meter. Di sisi tenggara terdapat saluran masuk ke kolam, sedangkan di sisi baratlaut terdapat saluran keluar yang menuju ke Balong Dowo dan Balong Bunder. Adanya saluran keluar dan saluran masuk, kolam Segaran mungkin berfungsi sebagai waduk penampungan dari satu sistem irigasi di Trowulan. Para ahli menduga bahwa kolam Segaran adalah “telaga” seperti yang disebutkan dalam Nagarakertagama Pupuh 8:5.
Desa Trowulan yang dipercaya sebagai bekas salah satu kota Majapahit, di dalam tanahnya banyak terdapat saluran air. Saluran ini menghubungkan dari satu kolam/waduk ke kolam/waduk lain. Di beberapa tempat terdapat semacam lubang untuk mengontrol. Hingga saat ini beberapa saluran air masih mengalirkan air dan dimanfaatkan penduduk untuk mengairi sawahnya.
Menebang Pohon
Hutan, banjir, dan kekeringan saling berkaitan. Penggundulan hutan tentu saja akan mendatangkan bencana. Keadaan seperti ini disadari atau tidak telah menjadi pemikiran penguasa Majapahit. Dalam zaman Majapahit dikenal adanya Undang-undang Agama yang isinya mengatur segala peri kehidupan penduduknya.
Dalam undang-undang tersebut, diatur hukuman dan denda yang dikenakan kepada orang yang bersalah. Perlindungan terhadap lingkungan hidup tersirat dan tersurat dalam undang-undang itu. Dalam Pasal 82 antara lain disebutkan: “Barangsiapa menebang kayu silunglung di luar pengetahuannya, namun tidak diambil, dendanya dua tahil. Jika hal itu terjadi di luar pengetahuannya, namun diambil, dendanya empat tahil. Barangsiapa menebang kayu silunglung dengan sengaja, wajib membayar dua kali lipat harganya. Barangsiapa menebang sembarangan kayu milik orang lain, dengan paksa, dikenakan denda empat tahil.
Zaman Majapahit orang tidak boleh menebang pohon sembarangan, apalagi pohon milik pemerintah kerajaan. Sebagai contoh misalnya pada Pasal 92 antara lain disebutkan: “Barangsiapa menebang pohon milik orang lain tanpa izin pemiliknya, dikenakan denda empat tahil oleh raja yang berkuasa. Jika hal itu terjadi pada waktu malam, dikenakan pidana mati oleh raja yang berkuasa. Pohon yang ditebang dikembalikan dua kali lipat.
Apakah larangan menebang pohon itu dimaksudkan sebagai upaya konservasi hutan atau penghijauan? Apakah gagasan konservasi terkandung di dalam undang-undang itu? Disadari atau tidak, jelas nafas dari undang-undang tersebut adalah menjaga pelestarian lingkungan. Artinya, orang tidak boleh sesukanya menebang pohon.
Konteks kekinian
Memang, kita harus belajar dari kearifan nenak moyang dalam menyikapi lingkungan alam tempatnya hidup. Penebangan hutan dan pohon secara semena-mena yang dilandasi dengan rasa gagah/sombong untuk mendapatkan keuntungan, pada akhirnya akan merugikan orang lain. Rupanya orang di zaman Tarumanagara (abad V Masehi), Kadiri (abad X-XI Masehi), dan Majapahit (abad XIV Masehi) jauh lebih arif dibandingkan orang modern sekarang ini.
Kalau dikatakan para nenek moyang itu berbudaya, memang benar adanya. Mereka mempunyai aturan-aturan, petunjuk-petunjuk, resep-resep, rencana-rencana, dan strategi-strategi, yang terdiri atas serangkaian model-model kognitif yang digunakan secara selektif sesuai dengan lingkungan alam yang dihadapinya. Mereka mempunyai pengetahuan yang diyakini akan kebenarannya. Pemikiran ini merupakan sumber bagi sistem penilaian sesuatu yang baik dan yang buruk, sesuatu yang berharga atau tidak, dan sesuatu yang dapat menyelamatkan atau bahkan mencelakakan. Semua ini dapat terjadi karena kebudayaan itu diselimuti oleh nilai-nilai moral, yang sumber dari nilai-nilai moral tersebut adalah pada pandangan hidup dan pada etos atau sistem etika yang dimiliki oleh setiap manusia.
Kalau pada zaman lampau yang berkuasa adalah raja, maka sekarang adalah Presiden, Gubernur, dan Bupati. Zaman dulu memang sudah karuan, raja mempunyai kekuasaan penuh tetapi dia berpegang kepada Asta Brata, yang salah satu di dalamnya harus mengayomi rakyat. Dengan demikian secara moral kekuasaanya “dibatasi” oleh ajaran moral tadi. Rakyat dalam kerajaan mempunyai etika dimana mereka masih mendengarkan apa kata junjungan-nya dan apa yang tertulis dalam undang-undang kerajaan. Dalam mengelola lingkungan, pada masa kini para petinggi yang pada hakekatnya memegang amanah rakyat, seharusnya mampu mencegah kerusakan hutan dan sudah seharusnya memberikan kenyamanan pada rakyat yang memberinya amanah.
Raja Purnawarmman mampu mengatasi banjir dengan cara membuat kanal. Mengapa Gubernur DKI Jakarta tidak mampu menanggulanginya ? Membuat bendungan untuk memecah aliran air seperti yang dilakukan Airlangga pada tahun 1037 Masehi, seharusnya bisa dilakukannya untuk membuat banjir kanal di Jakarta. Menghidupkan kembali waduk-waduk yang ada di sekitar Jakarta, seperti halnya raja Majapahit membuat waduk-waduk di sekeliling kota.
Dalam hal perlakuan terhadap pohon (pelindung), mengapa orang dulu lebih arif dan taat menjalankan aturan kerajaan. Di Jakarta Pemerintah DKI menebang pohon-pohon pelindung demi untuk keperluan pembuatan jalan. Di sudut kota yang lain, seorang Ketua RT di perumahan elit memerintahkan menebang pohon pelindung demi untuk membuat taman yang ditanami dengan tanaman perdu. Padahal pohon itu minta dari Dinas Pertamanan DKI. Itulah yang terjadi di kota besar yang masyarakatnya relatif orang terpelajar. Kita telah mempunyai undang-undang lingkungan hidup, serta perangkat Peraturan Daerah mengenai penghijauan. Apakah undang-undang dan peraturan itu dibuat untuk dilanggar? Semoga kita dapat belajar dari nenek moyang dalam mengelola lingkungan hidup.
Bambang Budi Utomo
Puslitbang Arkeologi Nasional
Foto: dok. BPCB Trowulan
Be First to Comment