Tahukah kamu, di Cocos Islands, disebut juga Keeling, Australia, ada jejak-jejak kebudayaan Nusantara. Di sana kamu bisa menemukan jejak-jejak budaya Melayu, Jawa, Sulawesi, dan Sumatera. Ternyata itu bermula sejak datangnya Kapten William Keeling dari Kongsi Dagang Inggris, East India Company, pada 1609.
Captain William Keeling (1577 – 19 September 1619) adalah seorang nahkoda kapal penjelajah Inggris. Dia memimpin kapal Susanna pada pelayaran kedua East India Company pada 1604. Pada pelayaran ketiga, dia memimpin kapal Red Dragon dan Hector pada 1607. Dalam perjalanan inilah dia menemukan Cocos Islands pada 1609, saat dalam perjalanan pulang ke Inggris dari Banda.
Datang dari Banten, Kapten Keeling mendapati kepulauan itu kosong melompong. Dilansir dari Lorongarkeologi.id, kepulauan itu baru mulai berpenghuni pada abad ke-19.
Kepulauan ini memiliki luas 14 km persegi. Sekarang, pulau ini termasuk wilayah Australia. Cocos Islands terdiri dari beberapa pulau, seperti West Island, South Island, Home Island, Horsburgh Island, dan Pulau Keeling Utara (North Keeling Island) yang sedikit terpisah dari gugusan pulau lainnya.
Penghuni awal Cocos Islands pada tahun 1826 sebagian besar adalah orang-orang Melayu yang dibawa oleh Alexander Hare. Ada juga orang China, Papua, dan keturunan India. Kemungkinan ada juga beberapa orang dari Afrika. Komunitas Melayu yang datang diperkirakan berasal dari Bali, Bima, Sulawesi, Madura, Sumbawa, Timor, Sumatera, Kutai, Malaka, Penang, Batavia, dan Cirebon. Mereka digambarkan sebagai orang-orang yang berbahasa Melayu dan beragama Islam.
Diperkirakan awal mula penduduk Melayu-Jawa Cocos Islands memeluk Agama Islam adalah ketika perdagangan Islam di Hindia Timur mulai berkembang di wilayah Nusantara. Hingga saat ini kesetiaan mereka terhadap Islam, tradisi dan bahasa Melayu masih tetap mereka pegang. Uniknya moto kepulauan ini adalah ‘Maju Pulu Kita’, sama seperti bahasa Melayu dan mirip dengan bahasa Indonesia.
Penduduk yang sekarang menempati kepulauan itu adalah generasi kesekian dari pendatang asal Jawa, Sulawesi, dan Sumatera. “Saya berkesempatan mengunjungi Kepulauan Cocos pada tahun 2016 karena saya terlibat dalam penelitian kapal karam di perairan Samudera Hindia yang dilakukan oleh tim internasional dari Australia dan Belanda. Pada saat saya menikmati lautan yang luas di atas kapal feri yang menyeberang dari West Island menuju Home Island, tiba-tiba ada anak buah kapal feri yang menegur dengan menggunakan Bahasa Jawa bercampur Bahasa Melayu. Saya sempat kaget karena di kepulauan yang terpencil ini saya dapat bertemu orang yang mampu berbahasa Jawa. Lalu kita bertegur sapa dan dia mulai bercerita tentang kakek dan nenek buyut dia yang berasal dari tanah Jawa. Serta beberapa tetangga dan saudara dekatnya juga ada yang berasal dari Sulawesi dan Sumatera,” kata arkeolog Shinatria Adhityatama, yang menulis studi mengenai Kepulauan Cocos.
Meski terpencil, pemerintah Australia menjalankan fungsinya dengan baik di kepulauan ini karena walaupun terpencil fasilitas di Cocos Islands ini sangat memadai dari fasilitas pendidikan hingga kesehatan, serta lapangan kerja. Cocos Islands masuk dalam teritori negara Australia sejak 1955 setelah sebelumnya dikuasai Inggris, dan Srilanka.
Nuansa nusantara juga sangat kental kalau kita berkunjung ke Museum Pulau Cocos di Home Island, Cocos Islands. Koleksi museum tersebut banyak yang menunjukkan budaya Nusantara, salah satunya adalah wayang kulit Jawa, pakaian adat khas Melayu, batik dan beberapa jenis perahu yang mereka gunakan memiliki ciri Asia Tenggara.
Komunitas Melayu Jawa menetap cukup lama di Cocos Islands tetapi tidak pernah melupakan budaya asli mereka yang berasal dari Nusantara. Keberadaan Masyarakat Jawa-Melayu di Cocos Islands merupakan bukti bahwa manusia Nusantara dapat beradaptasi dengan baik di pulau yang terpencil dan tetap mempertahankan kebudayaan asli mereka walaupun mereka sudah berwarganegara Australia.
Be First to Comment