Tim peneliti dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) melakukan ekspedisi ke pulau-pulau terluar Indonesia, yang disebut Ekspedisi Nusa Manggala. Ekspedisi Nusa Manggala berlangsung sejak 16 Oktober lalu sampai 23 Desember mendatang.
Selama ini informasi mengenai potensi pulau-pulau terluar masih belum cukup lengkap. Kejadian hilangnya dua pulau terluar Sipadan dan Ligitan tak ingin terulang kembali karena kurangnya informasi pengelolaan pulau terluar. Beberapa penduduk di kawasan pulau terluar bahkan masih menggangap presiden Indonesia sekarang adalah Susilo Bambang Yudhoyono.
Oleh sebab itu, perlu ada informasi yang berbasis hasil penelitian yang lengkap dari berbagai aspek mulai pertahanan dan keamanan wilayah, keanekaragaman hayati, geografi kawasan, sampai sosial dan ekonomi masyarakat. Apalagi pembangunan kawasan terluar Indonesia menjadi salah satu prioritas pemerintahan Presiden Joko Widodo yang tertuang dalam agenda Nawacita.
Kepala Pusat Penelitian Oseanografi LIPI, Dirhamsyah di Biak, Papua, pekan lalu berkata, rekomendasi dalam bentuk policy paper akan disampaikan ke Presiden untuk memberikan pertimbangan ilmiah yang lengkap dalam kebijakan pengelolaan pulau-pulau terluar.
Dirhamsyah menjelaskan target ekspedisi ini adalah 60 hari, mencakup delapan pulau terluar di provinsi Papua, Papua Barat dan Maluku Utara yang berada di kawasan Samudera Pasifik yakni Pulau Yiew, Budd, Fani, Miossu, Fanildo, Bras, Bepondi, dan Liki. Pulau-pulau ini dipilih karena merupakan kawasan perbatasan laut Indonesia sesuai dengan Peraturan Pemerintah No. 26 Tahun 2008 tentang Kawasan Strategis Nasional.
Ekspedisi yang didukung Bank Dunia ini dibagi menjadi tiga leg dengan durasi setiap leg selama 20 hari pelayaran. Tim ekspedisi peneliti yang terdiri dari peneliti LIPI, Badan Informasi dan Geospasial, personel TNI Angkatan Laut, jurnalis Media Indonesia, serta dosen dan mahasiswa dari enam perguruan tinggi se-Indonesia melakukan kegiatan penelitian di kapal riset Baruna Jaya VIII milik LIPI.
Leg pertama telah selesai dilakukan pada Rabu (14/11) lalu setelah menyelesaikan etape Pelabuhan Bitung di Sulawesi Utara hingga bersandar di Pelabuhan Biak. Koordinator Penelitian leg I, Hadiyanto mengungkapkan untuk leg pertama tim peneliti telah melakukan observasi di pulau Yiew, Budd, Fani, Bras, dan Fanildo. Beberapa pulau seperti Yiew dan Budd adalah pulau tak bepenghuni.
“Untuk pulau tak berpenghuni, kami melakukan pemetaan keanekaragaman hayatinya, status pencemaran, dan topografi pulau. Sementara untuk yang berpenghuni kami mempelajari kehidupan penduduknya, juga latar sosial budayanya,” kata Hadiyanto.
Di Bras dan Fanildo tim peneliti menemukan atol dengan lingkaran cincin terumbu karang yang utuh. Atol ini menjadi pelindung alami dari gelombang laut untuk terumbu karang tumbuh. Di atol ini ditemukan beberapa spesies terumbu karang dari jenis Lobophylia dan Tubipora yang banyak terdapat di kawasan Oceania. Menurut Hadiyanto, peneliti bidang biologi laut Pusat Penelitian Oseanografi LIPI ini, terumbu karang jenis ini punya nilai ekonomi tinggi di pasar dunia.
Sedangkan di pulau Fani, tim peneliti sosial mencatat perlunya perbaikan fasiltas patroli penjaga perbatasan seperti perahu karet yang bocor, solar cell yang tidak berfungsi, serta perlengkapan navigasi yang perlu diperbaiki. Pulau ini merupakan pulau terluar yang berbatasan dengan wilayah negara Palau. Infrastruktur sudah cukup memadai namun untuk logistik tergantung operasional kapal Sabuk Nusantara yang mengangkut bahan-bahan kebutuhan pokok tiap dua minggu sekali dari Biak. Dalam satu setengah bulan terakhir kapal milik Pelni ini terkendala operasi karena gelombang tinggi di wilayah perairan Papua.
Ekspedisi Nusa Menggala telah dilanjutkan ke leg kedua pada Sabtu (17/11). Dari Pelabuan Biak, kapal Baruna Jaya VIII berlayar di pulau-pulau terluar di kawasan Papua yakni Bepondi, Liki dan Miosu. Titik akhir dari leg kedua ini adalah Pelabuhan Sorong.
Be First to Comment