Saat melakukan ekspedisi untuk memetakan distribusi pohon gaharu di Pulau Flores, kami mendatangi Kota Ruteng, sebuah kota beriklim sejuk di dataran tinggi Flores dengan elevasi sekitar 1400 m di atas permukaan laut. Kota ini memiliki keindahan alam yang luar biasa.
Selain berdekatan dengaan kawasan Gunung Api Ranaka, Ruteng juga dekat dengan sebuah situs arkeologi bernama Liang Bua. Di sini ada sebuah gua yang belakangan menjadi buah bibir di masyarakat dengan penemuan kerangka manusia purba yang berukuran kerdil, yang kemudian lebih dikenal sebagai Manusia Flores. Ada juga media di luar negeri yang menjulukinya “Manusia Hobbit” dari Flores.
Liang Bua dapat ditempuh dengan kendaraan selama sekitar 30 menit perjalanan dari Kota Ruteng. Saat sampai di Liang Bua, kami beruntung sekali dapat menyaksikan proses penggalian yang sedang berlangsung di sana. Saat kami tiba, sedang dilakukan penggalian yang menemukan kerangka seperti nampaknya tulang lengan dan kaki.
Saya pun berkenalan dengan Page, salah satu dari tim peneliti yang sedang melakukan kegiatan penggalian dan penelitian. Page adalah juga seorang mahasiwi kandidat PhD di Arizona State University.
Saya bertanya apakah Homo floresiensis ini sudah terverifikasi oleh dunia ilmiah. Sebab saya pernah membaca bahwa saat ini masih ada pro dan kontra mengenai kerangka yang ditemukan. Apakah kerangka yang kemudian disebut sebagai Homo floresiensis itu adalah jenis hominid baru yang beda dengan hominid lainnya?
Page mengatakan awalnya memang ada banyak pro kontra saat pertama kali paper mengenai hominid baru ini muncul di sebuah jurnal internasional bereputasi. Namun saat ini pertentangan sudah mereda dan nampaknya Homo floresiensis sudah mulai perlahan diakui sebagai temuan hominid baru.
Menurut Page, perbedaan yang cukup menonjol antara Homo floresiensis adalah ukuran tubuhnya yang lumayan kecil dibandingkan homo lainnya (Homo erectus misalnya). Kerangka Homo floresiensis yang cukup lengkap ditemukan bernama ‘Flo’ ini tingginya hanya setinggi pinggang manusia dewasa atau sekitar 100 cm saja. Sehingga Homo floresiensis ini juga dijuluki “The Hobbit of Flores”.
Selain ukuran badan, tenyata volume otak manusia purba ini juga lebih kecil. Namun menurut Page, ukuran telapak kakinya cukup besar dibandingkan proporsi dengan ukuran tubuhnya. Persis seperti deskripsi hobbit di film layar lebar.
Tipe habitat yang dihuni oleh Flo ini sendiri masih perlu diteliti lebih lanjut, apakah kawasan savanna, padang rumput atau hutan. Sebetulnya ada sebuah artikel di jurnal yang berargumen bahwa savana atau padang rumput adalah tipe habitat pertama yang menjadi habitia manusia purba dan bukan hutan. Jika melihat dari kondisi vegetasi saat ini di sekitar situs Liang Bua, nampak jelas pernah ada padang rumput di sana.
Hal ini sangat mungkin karena di Pulau Flores kita masih dapat menemukan hamparan padang rumput atau savanna yang luas di banyak tempat. Seperti di Satar Cuwe, yang dalam bahasa lokal daerah Flores artinya adalah padang rumput.
Savanna atau padang rumput ini dapat bertransisi menjadi hutan sekunder atau seasonally dry tropical forest, merujuk pada hasil riset saya di Baluran Jawa Timur (Sutomo, & van Etten, E. (2016). Unfolding Structure of Lowland Seasonal Tropical Dry Forest and Transition of Savanna in Indonesia. Paper presented at the EcoSummit 2016. Ecological Sustainability: Engineering Change. From http://www.ecosummit2016.org/).
Penelitian di Liang Bua sudah berjalan hampir selama 20 tahun. Setiap tahunnya tim gabungan peneliti datang ke sini dan melakukan kegiatan selama 3 bulan. Mereka akan tinggal di Ruteng selama aktivitas penelitiannya di Liang Bua. Kami juga sempat berkenalan dengan anggota tim peneliti lainnya dari Universitas Udayana Bali.
Penulis: Sutomo (peneliti LIPI) Bisa dihubungi di Instagram: @tommoforester
Be First to Comment