Mesir kuno di Afrika bagian utara pernah menjadi peradaban yang paling kuat dan berpengaruh di kawasan itu selama 3.000 tahun, dari sekitar tahun 3.100 SM sampai dengan tahun 30 SM. Peradaban ini meninggalkan banyak monumen, dokumen, dan karya seni, yang masih dipelajari oleh para ilmuwan sampai hari ini. Salah satu bagian dari peradaban Mesir kuno yang banyak diteliti adalah mengenai pemerintahan dan kekuasaannya.
Ada banyak nama yang digunakan untuk menyebut Mesir kuno. Salah satu yang populer adalah “Kemet” yang artinya “tanah hitam”. Para ahli yakin, nama ini diberikan menurut tanah subur yang ditinggalkan oleh Sungai Nil yang biasanya mengalami banjir antara Juni sampai Agustus setiap tahun. Dan tanah yang subur inilah yang membuat Mesir bertahan.
Penguasa Mesir kuno biasa disebut Firaun. “Tapi sebenarnya pada zaman kuno, penguasa Mesir menggunakan serangkaian nama sebagai bagian dari tituler kerajaan,” kata Ronald Leprohon, seorang profesor Egyptology di University of Toronto, dalam bukunya “The Great Name: Ancient Egyptian Royal Titulary” (Society of Biblical Literature, 2013).
Dilansir dari Live Science yang mengutip buku Leprohon, kata “Firaun” sendiri berasal dari istilah Mesir “per-aa” yang berarti “Rumah Besar”. Istilah ini pertama kali dimasukkan ke dalam gelar kerajaan pada masa pemerintahan Thutmose III (memerintah sekitar tahun 1479 hingga 1425 SM).
Sejarah pemerintahan di Mesir bisa dibagi ke dalam 30 dinasti (Sering juga disebut sampai 31 dinasti). Tradisi ini dimulai dengan Imam Mesir Manetho, yang hidup pada abad ketiga SM. Catatannya tentang sejarah Mesir kuno dilestarikan oleh para penulis Yunani kuno dan, sampai tulisan hieroglif diuraikan pada abad ke-19, merupakan salah satu dari sedikit catatan sejarah yang dapat dibaca oleh para sarjana.
Sarjana modern mengelompokkan dinasti-dinasti ini ke dalam beberapa periode:
Dinasti satu dan dua berasal (sekitar 5.000 tahun yang lalu)
Sering disebut periode “Dinasti Awal” atau “Dinasti Kuno”). Firaun pertama dari dinasti pertama adalah seorang penguasa bernama Menes. Dia hidup pada 5000 tahun lebih yang lalu. Sejumlah penulis kuno kadang menganggapnya sebagai Firaun pertama dari Mesir bersatu. Namun penelitian arkeologi menunjukkan bahwa ini tidak benar.
Prasasti yang ditemukan baru-baru ini menceritakan tentang para penguasa – seperti Djer dan Iry-Hor – yang tampaknya telah memerintah lebih awal dan penemuan lain menunjukkan bahwa ada Firaun sebelum Menes yang memerintah Mesir bersatu. Para sarjana terkadang menyebut para penguasa pra-Menes ini sebagai bagian dari “dinasti nol”.
Dinasti tiga sampai enam (sekitar tahun 2650 sampai 2150 SM)
Sering dikelompokkan bersama ke dalam periode waktu yang disebut “Old Kingdom” oleh para sarjana modern. Pada masa inilah teknik pembangunan piramida dikembangkan dan piramida Giza dibangun. Papirus yang masih diuraikan menunjukkan bahwa kelompok pekerja profesional — terkadang diterjemahkan sebagai “geng pekerja” — memainkan peran utama dalam pembangunan piramida, serta struktur lainnya.
Dinasti tujuh sampai 10 dan sebagian 11 (Dari 2150 hingga 2030 SM)
Pada periode ini, pemerintah pusat di Mesir lemah dan negara sering dikendalikan oleh pemimpin daerah yang berbeda. Alasan mengapa Old Kingdom runtuh, masih jadi perdebatan di antara para sarjana. Ada penelitian yang menunjukkan bahwa kekeringan dan perubahan iklim memainkan peran penting. Selama waktu ini, kota dan peradaban di Timur Tengah juga runtuh, dengan bukti di situs arkeologi menunjukkan bahwa periode kekeringan dan iklim gersang melanda seluruh wilayah ini.
Dinasti ke-12, ke-13, dan sebagian dari dinasti ke-11 (berlangsung dari sekitar tahun 2030 hingga 1640 SM)
Sering disebut “Middle Kingdom” oleh para sarjana. Pada awal dinasti ini, seorang penguasa bernama Mentuhotep II (yang memerintah hingga sekitar tahun 2000 SM) menguasai kembali seluruh negeri. Pembangunan piramida dilanjutkan di Mesir, dan sejumlah besar teks sastra dan sains dibuat. Di antara teks-teks yang masih ada adalah sebuah dokumen yang sekarang dikenal sebagai papirus bedah Edwin Smith, yang mencatat berbagai perawatan medis yang dipuji oleh para dokter medis modern sebagai sebuah kemajuan yang luar biasa pada zaman itu.
Dinasti 14 sampai 17
Sering dikelompokkan bersama sebagai “Second Intermediate Period”. Selama waktu ini, pemerintah pusat kembali runtuh di Mesir, dan sebuah kelompok yang disebut “Hyksos” naik ke tampuk kekuasaan, menguasai sebagian besar Mesir utara. Meskipun Hyksos mungkin berasal dari Levant (area yang mencakup Israel modern, Palestina, Lebanon, Yordania, dan Suriah), penelitian menunjukkan bahwa mereka sudah berada di Mesir pada saat pemerintah runtuh. Satu temuan mengerikan dari periode ini adalah serangkaian potongan tangan, yang ditemukan di sebuah istana di kota Avaris, ibu kota Mesir yang dikuasai Hyksos. Tangan yang terputus mungkin telah dipersembahkan oleh tentara kepada seorang penguasa dengan imbalan emas.
Dinasti 18 hingga 20 (periode yang berlangsung sekitar 1550 hingga 1070 SM)
Para sarjana sering menyebut dinasti ini sebagai “New Kingdom”. Periode ini terjadi setelah Hyksos dikalahkan oleh serangkaian penguasa Mesir dan negara bersatu kembali. Mungkin situs arkeologi paling terkenal dari New Kingdom ini adalah Valley of the Kings (Lembah Para Raja), yang menjadi tempat pemakaman banyak penguasa Mesir dari periode ini, termasuk Tutankhamun (memerintah sekitar tahun 1336 hingga 1327 SM), yang makam kayanya ditemukan utuh pada tahun 1922. Firaun berhenti membangun piramida selama New Kingdom karena berbagai alasan — salah satunya adalah untuk mencegah aksi para perampok makam.
Dinasti ke-21 hingga ke-24 (periode dari sekitar 1070 hingga 713 SM)
Sering disebut “Third Intermediate Period” oleh para sarjana modern. Pemerintah pusat terkadang lemah selama periode ini, dan negara tidak selalu bersatu. Selama masa ini, kota-kota dan peradaban di seluruh Timur Tengah telah dihancurkan oleh orang-orang dari Laut Aegea, yang kadang-kadang disebut oleh para sarjana modern sebagai “Sea Peoples”. Sementara penguasa Mesir mengklaim telah mengalahkan Sea Peoples dalam pertempuran, itu tidak mencegah peradaban Mesir runtuh. Hilangnya rute perdagangan dan pendapatan mungkin berperan dalam melemahnya pemerintah pusat Mesir.
Dinasti 25 sampai 31 (dari sekitar 712 sampai 332 SM)
Sering disebut sebagai “Late Period” oleh para sarjana. Mesir terkadang berada di bawah kendali kekuatan asing. Para penguasa dinasti ke-25 berasal dari Nubia, sebuah daerah yang terletak di zaman modern Mesir selatan dan Sudan utara. Persia dan Asyur juga menguasai Mesir pada waktu yang berbeda selama periode ini.
Era setelah dinasti-dinasti
Pada tahun 332 SM Alexander Agung mengusir Persia dari Mesir dan memasukkan negara itu ke dalam Kekaisaran Makedonia. Setelah kematian Alexander Agung, barisan penguasa keturunan dari Ptolemy Soter, salah satu jenderal Alexander, berkuasa. Yang terakhir dari penguasa “Ptolemeus” ini adalah Cleopatra VII, yang meninggal karena bunuh diri pada tahun 30 SM setelah kekalahan pasukannya oleh Oktavianus, yang kemudian disebut sebagai kaisar Romawi Augustus, pada Pertempuran Actium. Setelah kematiannya, Mesir dimasukkan ke dalam Kekaisaran Romawi.
Meskipun kaisar Romawi bermarkas di Roma, orang Mesir memperlakukan mereka sebagai Firaun. Satu ukiran yang digali menunjukkan kaisar Claudius (memerintah 41 hingga 54 M) berpakaian seperti Firaun. Ukiran itu memiliki prasasti hieroglif yang mengatakan bahwa Claudius adalah “Putra Ra, Penguasa Mahkota,” dan “Raja Mesir Hulu dan Hilir, Penguasa Dua Tanah.”
Baik penguasa Ptolemeus maupun Romawi tidak dianggap sebagai bagian dari dinasti bernomor.
Be First to Comment