Peneliti dari Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) dan Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam (KSDA) Papua Barat berhasil menemukan dua spesies baru anggrek di Kepulauan Raja Ampat, Papua Barat. Namun, penemuan spesies baru ini dibayang-bayangi oleh ancaman kelestarian habitat alaminya oleh pengrusakan hutan di Raja Ampat, serta pengambilan liar yang dipicu permintaan pasar anggrek eksotis.
Temuan spesies baru tersebut bermula dari kegiatan inventarisasi tumbuhan dan pemanfaatannya di Pulau Batanta, Kepulauan Raja Ampat, yang dilakukan pada 2022 oleh Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam (KSDA) Papua Barat bekerja sama dengan Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN). Dalam survei tersebut, tim berhasil mengoleksi berbagai jenis anggrek alam serta mencatat pemanfaatan tumbuhan oleh masyarakat lokal.
Beberapa tahun kemudian, sejumlah koleksi anggrek hasil survei berbunga sehingga memungkinkan dilakukan pengamatan morfologi lebih mendalam. Dari situlah kemudian ditemukan dua spesies anggrek baru, yaitu Dendrobium siculiforme dan Bulbophyllum ewamiyiuu. Keduanya tergolong unik karena memiliki karakteristik morfologi yang membedakan dari spesies lain yang sudah dikenal sebelumnya. Selain itu, kedua spesies juga memberikan gambaran menarik tentang kekayaan biodiversitas Indonesia di bidang flora.
Dendrobium siculiforme dinamai berdasarkan istilah Latin yang artinya seperti belati, menggambarkan bentuk cuping tengah bibir bunga yang menyerupai senjata tajam. Batangnya tegak, mencapai 15-50 cm, dengan daun tersusun berseling dan bunga berdiameter sekitar 7 cm berwarna krem kekuningan berpola guratan cokelat keunguan. Spesies ini diduga sebagai endemik Raja Ampat dan masuk kategori sangat kritis (Critically Endangered) karena sebarannya yang terbatas dan ancaman pengambilan liar di alam.
Sedangkan Bulbophyllum ewamiyiuu memiliki ukuran lebih kecil, sekitar 8-12 cm, dengan satu helai daun pada setiap pseudobulb. Warnanya yang khas adalah kuning dengan semburat merah marun, dan namanya diambil dari bahasa Batta yang berarti ‘bergaris’ karena adanya garis-garis cokelat di bagian pseudobulb-nya. Spesies ini juga diduga sebagai endemik dan masuk kategori Data Deficient, menandakan perlunya penelitian lebih lanjut terkait distribusinya.
Penemuan dua spesies ini semakin menegaskan pentingnya kawasan Papua sebagai gudang sumber daya genetik dunia. Meski demikian, potensi kerusakan habitat akibat deforestasi dan pengambilan liar masih menjadi ancaman serius.
“Kemunculan spesies baru biasanya memicu antusiasme para penghobi untuk memilikinya. Bahkan, Bulbophyllum ewamiyiuu sudah mulai diperdagangkan hingga ke Pulau Jawa,” ucap Peneliti Ahli Utama Pusat Riset Biosistematika dan Evolusi BRIN, Destario Metusala, dalam keterangannya.
Penelitian ini diharapkan menjadi langkah awal dalam konservasi dan pelestarian biodiversitas Indonesia yang melimpah, sekaligus membuka peluang pengembangan produk farmasi berbasis biota laut yang inovatif dan ramah lingkungan.
Fakta menariknya, kedua spesies ini juga menunjukkan potensi besar untuk pengembangan produk farmasi berkualitas tinggi, sekaligus menjadi bukti kekayaan sumber daya alam Indonesia yang masih banyak menunggu untuk diungkap. Penemuan ini bukan hanya memberi kontribusi ilmiah, tetapi juga mengingatkan pentingnya menjaga kekayaan biodiversitas Indonesia agar tetap lestari.






Be First to Comment