Suatu pengalaman lucu terjadi dalam penelitian arkeologi tahun 2011 di situs Yomokho, Sentani, Kabupaten Jayapura. Pada waktu itu sedang dilakukan penggalian atau ekskavasi arkeologi. Seusai menentukan letak kotak galian, dibuatlah layout kotak, penggambaran dan pendokumentasian. Tahap awal kotak digali sedalam 10 cm.
Penggalian pertama dilakukan oleh peneliti, agar tenaga lokal (tenlok), selain bisa melihat langsung teknik ekskavasi dalam arkeologi dan bisa melanjutkan penggalian selanjutnya.
Tiba-tiba ada salah satu tenlok yang baru datang langsung ambil sekop dan melakukan penggalian tidak jauh dari kotak ekskavasi. Menurutnya cara menggali yang dilakukan peneliti lambat dan terlalu lama karena menggali tanah pelan-pelan dengan cetok dan kuas.
Melihat hal tersebut, tim peneliti menjelaskan ke tenlok yang baru datang tersebut, mengenai definisi ekskavasi dan cara kerja dalam ekskavasi arkeologi.
Dalam buku Metode Penelitian Arkeologi dijelaskan bahwa ekskavasi adalah salah satu teknik pengumpulan data melalui penggalian tanah yang sistematik untuk menemukan suatu atau himpunan tinggalan arkeologi dalam situasi in situ (tempat aslinya).
Bahasa mudahnya adalah arkeolog merekonstruksi masa lalu berdasarkan data yang ditemukan dalam kotak galian. Penggalian harus dilakukan dengan cara ‘mengupas’ tanah selapis demi selapis menggunakan berbagai alat. Sebagai bentuk pertanggung-jawaban ilmiah karena sudah ‘merusak’, maka arkeolog harus senantiasa melakukan perekaman data saat ‘mengupas’ lapisan tanah tersebut.
Perekaman data dilakukan dengan membuat gambar dan memotret. Jadi, jelas sudah, mengapa ekskavasi arkeologis tidak bisa dilakukan dengan terburu-buru menggunakan peralatan penggalian macam sekop.
Dengan ekskavasi diharapkan akan diperoleh keterangan mengenai bentuk temuan, hubungan antartemuan, hubungan stratigrafis, hubungan kronologis, tingkah laku manusia pendukungnya serta aktivitas, alam dan manusia setelah temuan terdepositkan.
Kontributor: Hari Suroto
Be First to Comment