Ulat sagu merupakan kuliner favorit sejak masa prasejarah, temuan arkeologi berupa pecahan gerabah di situs-situs di Kawasan Danau Sentani membuktikan bahwa manusia pada masa prasejarah sudah mengolah kuliner berbahan sagu.
Situs-situs hunian prasejarah di Kawasan Danau Sentani berada di sekitar hutan sagu. Manusia prasejarah pada waktu itu menjadikan sagu sebagai makanan pokok.
Pohon sagu menghasilkan tepung sagu, jamur sagu, dan ulat sagu.
Selain itu, bagian-bagian dari pohon sagu dapat dimanfaatkan untuk kontruksi rumah, yaitu kulit batangnya untuk lantai, daun untuk atap dan pelepah untuk dinding rumah.
Selain itu, kulit batang pohon sagu yang kering dapat dijadikan sebagai kayu bakar. Duri sagu yang tajam juga dimanfaatkan sebagi alat untuk membuat tato tradisional.
Ulat sagu didapatkan dari batang pohon sagu yang tua dan biasanya sudah tumbang. Bagian dalam batang pohon sagu ini penuh dengan zat tepung yang menjadi makanan ulat-ulat ini. Ulat sagu berwarna putih, berukuran tiga hingga empat centimeter.
Ulat sagu ini sebenarnya adalah larva kumbang penggerek Rhynchophorus ferrugineus. Ulat sagu memiliki kandungan protein tetapi sebagian besar adalah lemak. Ulat sagu menjadi menu tambahan bagi masyarakat pesisir Papua, karena tidak setiap saat akan dijumpai ulat ini. Untuk seratus gram ulat sagu, mengandung 181 kalori dengan 6,1 gram protein dan 13, 1 gram lemak.
Olahan ulat sagu dapat dijadikan sebagai kuliner khas yang dapat disajikan bagi tamu PON 2020.
Berkaitan dengan kuliner khas yang akan disajikan bagi tamu PON 2020, ulat sagu perlu diolah secara kreatif dan variatif, sehingga diharapkan dapat menghilangkan atau bisa mengurangi rasa jijik bagi yang belum pernah memakannya.
Olahan makanan berbahan ulat sagu dapat dikreasikan menjadi sate ulat sagu, roti dengan isi ulat sagu, sop ulat sagu, spageti dengan irisan ulat sagu, bakwan, nasi goreng ulat sagu, bakso ulat sagu dan keripik ulat sagu.
Untuk itu dinas terkait perlu melakukan pelatihan pada mama-mama masyarakat Sentani agar bisa menyajikan ulat sagu yang lebih kekinian. Pelatihan ini bisa mengundang chief hotel atau restoran, bisa juga melibatkan komunitas Papua Jungle Chief.
Penulis: Hari Suroto (arkeolog, tinggal di Jayapura) Bisa dihubungi di Instagram: @surotohari
Be First to Comment