Kaum perempuan di Papua mempunyai perlengkapan yang unik berupa tas anyam yang biasa disebut noken. Penggunaan noken bisa kita saksikan di daratan utama Papua maupun di pulau-pulau sekitarnya. Bahan utama noken diproduksi dari serat alami dan dianyam secara tradisional, didekorasi dengan warna-warna alami. Tas ini punya fungsi serbaguna dan terdiri dari sejumlah ukuran dan warna.
Sudah sejak beberapa dekade kaum perempuan Melanesia menggunakan bahan modern yang seringkali sangat menonjolkan warna. Teknik membuat noken ini banyak digunakan untuk membuat topi, pakaian, selimut, tikar dekoratif, dan sebagainya. Pada 2012, noken telah didaftarkan oleh Indonesia sebagai warisan budaya dunia takbenda, yang keberadaannya kini terancam punah.
Dalam pandangan kami, sangat penting juga untuk tak melupakan Papua Nugini, mengajak mereka untuk turut serta menjaga tradisi ini dan mengajukannya secara bersama sebagai Warisan Dunia UNESCO. Sebab di bagian timur pulau Papua, atau di wilayah Papua Nugini, teknik pembuatan semacam noken juga ada, yang disebut dengan “bilum” (disebut Tok Pisin oleh kaum Pidgin yang Neomelanesian) atau “kiapa” (di Vernacular Motu).
Ini untuk mewakili tradisi yang serupa dan keberadaannya sama-sama juga berada dalam ancaman. Sebab di kawasan itu masyarakat semakin mengadopsi gaya hidup modern, sehingga cara kuno dalam menghadirkan tas yang sangat efisien dan tahan lama ini bisa jadi bakal punah dari kebudayaan lokal Papua. Kami juga yakin, gestur politik dari persahabatan antar kedua kelompok Melanesia, sebagaimana yang ditunjukkan oleh Presiden Joko Widodo, menunjukkan besarnya harapan terjadi komunikasi yang lebih baik dari kedua negara.
Sudah ada contoh kesuksesan nominasi UNESCO yang dilakukan secara transnasional, contohnya adalah “Camino Santiago de Compostella” dan “Tajo/Tejo River Valley”.
Seperti ditunjukkan di atas, satu topik internasional yang menarik dari studi kolaboratif yang diusulkan menyangkut tradisi budaya perempuan Melanesia dalam membuat tas anyam (“noken” dalam bahasa Indonesia dan “bilum” di Pidgin Papua Nugini) dan produk serupa. Jika saran kami jatuh di tanah subur di kedua negara, ini bisa mengarah pada kerja bersama pada metode yang terlibat (bahan primer, teknik simpul, dekorasi, fungsi sebagai alat pembawa dan fungsi lainnya, sebagai media untuk pertukaran sosial, sebagai barang yang menghubungkan perempuan, dunia laki-laki, ritual dan signifikansi keagamaannya).
Ini akan membangun studi melintasi batas internasional provinsi Papua dan Papua Barat Indonesia di sebelah barat dan Papua Nugini di sisi timur dan mewakili kerja sama internasional pertama yang mungkin untuk mempelajari dan melestarikan tradisi budaya penting di dunia ini.
Penulis: Prof. Dr. Wulf Schiefenhoevel dari Max Planck Institut Starnberg-Seewiesen, Jerman, & Dr. Marian Vanhaeren dari Universitas Bordeaux
Be First to Comment