Press "Enter" to skip to content
Arca Maitreya (manusi Buddha) berlanggam Sailendra abad ke-8-9 Masehi. Ditemukan di dasarsungai Komering, Palembang. Arca Maitreya merupakan arca dari penganut Buddha Mahayana. (Dok. Bambang Budi Utomo)

Antara Mālayu, Sumatra, dan Sriwijaya

Hingga kini para sejarahwan, purbakalawan, dan umumnya masyarakat menduga bahwa lokasi Kerajaan Mālayu ada di sekitar daerah aliran sungai Batanghari, di wilayah Provinsi Jambi (Rouffaer 1921: 1-127). Namun ada juga sebagian sarjana menduga bahwa lokasinya di daerah aliran sungai Musi, tepatnya di Kota Palembang, seperti yang dikemukakan oleh Sumio (2011). Dalam tulisan ini saya akan melihat Mālayu dari sumber data lain.

Nama Mālayu atau Mo-lou-you dalam lafal Huayu (Mandarin) untuk pertama kalinya muncul dalam sejarah tercatat dalam Berita Tionghoa abad ke-7 Masehi, kemudian dalam Prasasti Tañjore dari India Selatan tahun 1030 Masehi yang mencantumkan “Malaiyur”. Dalam berita-berita Tionghoa, nama Mālayu disebutkan sebanyak tujuh kali, masing-masing dalam buku Che-fu-yuan-gui, Da-tang-xi-yu-qiu-fa-gao-seng-chuan (=Biografi Pendeta-pendeta Mulia dari Tang Raya yang Mengejar Dharma di India), Nan-hai-ji-gui-nei-fa-chuan (=Keadaan Ajaran Buddha di Lautan Selatan, Dititipkan Kepada yang Pulang), dan Gen-ben-shou-yi-qie-you-bu-bai-yi-jie-mo (terjemahan dari text ajaran Buddha Mulasarastivada-ekasata¬karman).

Dalam kitab Da-tang-xi-yu-qiu-fa-gao-seng-chuan (671 Masehi), I-tsing menyebutkan:
“… berangkat dari Fan-yu (=Guangdong) …, seperti diduga belum sampai dua kali sepuluh hari datang di Fo-shi (Shih-li-fo-shih). Tinggal di sini selama enam bulan sambil belajar fonologi Sansekerta. Rajanya memberi dukungan dan membawanya kepada Mo-lou-you (sekarang diubah menjadi Shih-li-fo-shih), tinggal juga disini lamanya dua bulan, lalu menuju ke Jie-tu (Kedah)”

Kalimat ini dapat diinterpretasikan bahwa I-tsing berangkat dari Guangdong tahun 671 Masehi dengan menyinggahi Śrīwijaya, Mālayu, dan Kedah di Semenanjung Tanah Melayu, sampai akhirnya tiba di Tamralipti (bagian timur India) pada tahun 673 Masehi. I-tsing tinggal di Tamralipti sampai awal tahun 686 Masehi.

Dalam catatan yang lain, Gen-ben-shou-yi-qie-you-bu-bai-yi-jie-mo, I-tsing menguraikan:
Dan-mo-li-di (Tamralipti) adalah pelabuhan untuk pulang ke T’ang. Dari sini berlayar dua bulan ke arah tenggara sampai ke Jie-tu. Ini takluk kepada Fo-shi. Datang di sini pada bulan kedua… tinggal di sini sampai musim dingin, baru berlayar ke arah selatan lebih kurang satu bulan tiba di pulau Mo-lou-yeu, yang sekarang adalah Negara Fo-shi-duo. Oleh karena datang di sini juga pada bulan kedua, tinggal di sini sampai tengah musim panas, lalu berlayar ke arah utara satu bulan lebih tiba di Guang-fo (Guangzhou)”

Catatan ini dapat diinterpretasikan bahwa I-tsing berangkat dari Tamralipti (India) pada awal tahun 686 Masehi, tiba di Kedah (Malaysia) dan tinggal selama hampir setahun, kemudian pada tahun 687 berangkat dan tiba pada tahun yang sama di Pulau Mo-lou-yeu. Dalam keterangannya, “pulau Mo-lou-yeu, yang sekarang adalah negara Fo-shi”.

Fo-shi atau Shih-li-fo-shih merupakan transliterasi Huayu dari kata Śrīwijaya. Berdasarkan prasasti-prasasti Śrīwijaya yang ditemukan di Palembang, diduga lokasi kota Śrīwijaya adalah Palembang. Prasasti Kedukan Bukit tertanggal 16 Juni 682 menandai dibangunnya sebuah perkampungan (wanua), Prasasti Talang Tuo tertanggal 23 Maret 684 menandai dibangunnya Taman Śrī Ksetra, dan Prasasti Telaga Batu menandai pejabat-pejabat yang disumpah yang semuanya ditemukan di Palembang, merupakan suatu bukti bahwa Palembang merupakan kota Śrīwijaya. Prasasti Talang Tuo mengindikasikan ajaran Buddha Mahāyāna di Śrīwijaya dan dari Palembang banyak ditemukan arca Buddha Mahāyāna. Ini berarti bahwa di Śrīwijaya banyak yang menganut Buddha Mahāyāna.

Bagaimana kaitannya antara Mālayu dan Śrīwijaya?

Dalam kitab Nan-hai-ji-gui-nei-fa-chuan disebutkan:
“Pulau-pulau di Lautan Selatan adalah, kalau menyebutkannya dari barat, pulau Po-lu-shi, pulau Mo-lou-you yaitu sekarang adalah Negara Shi-li-fo-shi, pulau Mo-he-xin, pulau He-ling, Ada juga banyak pulau kecil yang tidak dapat dihitungkan semuanya.”

Selanjutnya disebutkan:
“Pulau-pulau di Lautan Selatan semuanya menganut ajaran Buddha. Kebanyakan adalah Hīnayāna, cuma di Mo-lou-you saja ada Mahayāna sedikit”.

Catatan I-tsing itu jelas bahwa pada awal kedatangannya ke Mo-lou-you (Mālayu) sekitar tahun 671 Masehi Mālayu belum bernama Śrīwijaya, dan di kota tersebut sedikit umat yang mengaut ajaran Buddha Mahāyāna. Ketika dia datang lagi ke Mālayu dalam perjalanannya kembali ke Tiongkok pada tahun 687, Mālayu telah berubah menjadi Śrīwijaya. Dalam perjalanan sejarahnya penganut ajaran Buddha Mahāyāna di Śrīwijaya semakin banyak. Terbukti dari banyaknya indikator Buddha Mahāyāna yang berupa arca Bodhisattwa ditemukan di wilayah Sumatra bagian selatan, khususnya dari Palembang.

Uraian teks tersebut jelas menggambarkan bahwa untuk menyebut keseluruhan Pulau Sumatra, selain Swarnnadwīpa dan Swarnnabhūmi, adalah Mālayu atau dalam lafal orang Tionghoa “Mo-lou-you”. Di Mo-lou-you banyak terdapat kelompok permukiman yang mungkin saja telah mempunyai satu sistem pemerintahan. Kelompok-kelompok permukiman ini berada di tepian sungai-sungai besar, seperti Way Tulangbawang (To-lang Po-hwang) (Poerbatjaraka 1952: 18), Sungai Musi (Shih-li-fo-shih atau San-fo-tsi), Batanghari (Chan-pi atau Pi-chan) (Wolters 1974: 144), dan Batang Pane atau Sungai Barumun (Pannai). Keseluruhannya ada di satu pulau yang bernama Mo-lou-you. Pada suatu masa, salah satu kelompok permukiman itu lebih menonjol dibandingkan dengan kelompok permukiman lain, seperti Shih-li-fo-shih atau Śrīwijaya yang muncul pada abad ke-7–12 Masehi.

Kitab Nan-hai-ji-gui-nei-fa-chuan menyebutkan: “Pulau-pulau di Lautan Selatan semuanya menganut ajaran Buddha. Kebanyakan adalah Hīnayāna, cuma di Mo-lou-you saja ada Mahāyāna sedikit”. Kalau kita berpegangan pada kitab ini dalam penyebutan “Mo-lou-you saja ada Mahāyāna sedikit”, artinya sebagian besar adalah penganut Hīnayāna. Baru setelah munculnya Shih-li-fo-shih (Śrīwijaya) pada tahun 682 Masehi di Tanah Melayu, penganut Mahāyāna cukup banyak jumlahnya. Hal ini dapat dibuktikan dengan banyaknya arca Bodhisattwa yang ditemukan di Sumatra. Kemudian bagaimana dengan penganut ajaran Hīnayāna yang katanya banyak, dan apa buktinya?

Di Bukit Siguntang, Palembang ditemukan sebuah arca Buddha yang ukurannya cukup besar, terbesar dari yang ditemukan di Sumatra. Mungkin ini satu-satunya arca pemujaan para penganut ajaran Hīnayāna yang pernah ditemukan. Arca Buddha ini digambarkan dalam sikap berdiri. Rambutnya digambarkan ikal-ikal kecil menutupi seluruh bagian kepala dan di bagian tengah atas terdapat semacam sangul berbentuk bulat dan kecil (uṣṇīsa). Pakaian yang dikenakan adalah semacam jubah panjang, bergaris-garis. Pakaian tersebut menutup kedua bahunya.

Mengenai tarikh dilihat dari penggambaran arca yang secara keseluruhan tampak bahwa arca tersebut bergaya seperti arca-arca dari masa seni Amarāwati (Krom 1931: 29-33; Sulaiman 1980: 14). Ghosch (1937: 125-127) berpendapat bahwa arca Buddha dari Bukit Siguntang ini dapat dimasukkan ke dalam periode abad ke-4 Masehi, sedangkan Bachhofer menempatkan pada abad ke-2 Masehi (Sastri: 1949: 103). Berdasarkan pada penggambaran gaya pakaian terlihat adanya pengaruh dari langgam masa Gupta, yaitu abad ke-5 Masehi (Majumdar 1935: 75-78). Namun Schnitger cenderung berpendapat bahwa arca tersebut berasal dari abad ke-5-6 Masehi (1937: 2-3) dan menurut Nik Hassan Shuhaimi bila dilihat dari peng¬gambaran gaya pakaian tampak adanya pengaruh seni antara Gupta dan post-Gupta (1979: 33-40; 1984: 265-266). Berdasarkan pada gaya seni tersebut, kemungkinan arca Buddha dari Bukit Siguntang ini dapat ditempatkan pada abad antara 6-7 Masehi.

Berdasarkan temuan arca Buddha Sakyamuṇi abad ke-6-7 tersebut, diduga sebelum munculnya Shih-li-fo-shih, di Palembang telah ada kelompok masyarakat yang menganut ajaran Buddha Hīnayāna dengan Bukit Siguntang sebagai tempat melakukan puja bhakti. Ketika Shih-li-fo-shih (Śrīwijaya) muncul dan berkembang, Bukit Siguntang masih berfungsi sebagai pusat upacara penganut ajaran Buddha. Boleh jadi para pemeluk Hīnayāna dan Mahāyāna sama-sama melakukan upacara di Bukit Siguntang, karena di tempat itu ditemukan arca-arca Mahāyāna, seperti arca Kuwera dan Bodhisattwa.

Penulis: Bambang Budi Utomo (Pusat Penelitian Arkeologi) dikutip dari tulisannya di sini

Be First to Comment

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Mission News Theme by Compete Themes.