Banyak tersiar kabar di tengah masyarakat hari ini, Jumat (6/7), suhu udara di wilayah Indonesia akan mengalami penurunan drastis akibat fenomena aphelion. Benarkah begitu?
Aphelion adalah fenomena saat Bumi berada pada titik terjauhnya dari Matahari. Aphelion terjadi pada pukul 16.46 GMT atau pukul 23.46 WIB. Saat itu jarak Bumi ke Matahari adalah 152.095.566 kilometer.
Berdasarkan keterangan Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG), fenomena aphelion ini adalah fenomena astronomis yang terjadi setahun sekali pada kisaran bulan Juli. Sementara itu, pada waktu yang sama, wilayah Indonesia tengah berada di musim kemarau. Hal ini menyebabkan seolah aphelion memiliki dampak yang ekstrem terhadap penurunan suhu di Indonesia.
Padahal pada faktanya, menurut BMKG, penurunan suhu di bulan Juli belakangan ini lebih dominan disebabkan karena dalam beberapa hari terakhir di wilayah Indonesia, khususnya Jawa, Bali, NTB, dan NTT kandungan uap di atmosfer cukup sedikit. Hal ini terlihat dari tutupan awan yang tidak signifikan selama beberapa hari terakhir.
Berdasarkan teori fisika, uap air dan air merupakan zat yang cukup efektif dalam menyimpan energi panas. Sehingga, rendahnya kandungan uap di atmosfer ini menyebabkan energi radiasi yang dilepaskan oleh bumi ke luar angkasa pada malam hari tidak tertahan/tersimpan di atmosfer dan energi yang digunakan untuk meningkatkan suhu atmosfer di atmosfer lapisan dekat permukaan bumi kurang signifikan.
Hal inilah yang menyebabkan suhu udara di Indonesia saat malam hari di musim kemarau lebih rendah dibandingkan saat musim hujan atau peralihan.
Kondisi ini bertolak belakang dengan kondisi saat musim hujan atau peralihan di mana kandungan uap air di atmosfer masih cukup banyak sehingga atmosfer menjadi semacam “reservoir panas” saat malam hari.
Selain itu, pada bulan Juli ini wilayah Australia tengah berada pada musim dingin. Sifat dari massa udara yang berada di Australia ini dingin, kering, dan memiliki tekanan yang relatif tinggi. Tekanan udara yang relatif tinggi di Australia ini menyebabkan pergerakan massa udara dari Australia menuju Indonesia semakin sehingga berimplikasi pada penurunan suhu udara yang semakin besar pada malam hari di Indonesia khususnya Jawa, Bali, NTB, dan NTT.
Berdasarkan pengamatan BMKG di seluruh wilayah Indonesia selama 1 hingga 5 Juli 2018, suhu udara kurang dari 15 derajat Celcius tercatat di beberapa wilayah yang seluruhnya memang berada di dataran tinggi/kaki gunung seperti Frans Sales Lega (NTT), Wamena (Papua), dan Tretes (Pasuruan), di mana suhu terendah tercatat di Frans Sales Lega (NTT) dengan nilai 12.0 derajat Celcius pada tanggal 4 Juli 2018. Sementara itu untuk wilayah lain di Indonesia selisih suhu terendah selama awal Juli 2018 ini terhadap suhu terendah rata-rata selama 30 hari terakhir ini tidak begitu besar.
Hal ini menunjukkan bahwa fenomena aphelion memiliki pengaruh yang kurang signifikan terhadap penurunan suhu di Indonesia, sehingga diharapkan masyarakat tidak perlu khawatir secara berlebihan terhadap informasi yang menyatakan bahwa akan terjadi penurunan suhu ekstrem di Indonesia.
Kontributor: Atep Maulana
Be First to Comment