Bandar antariksa adalah fasilitas peluncuran orbital untuk roket, satelit, pesawat luar angkasa, dan sebagainya. Di luar sana, dikenal dengan istilah Space Center, Space Launch Center, dan Cosmodrome. Negara yang digdaya di bidang ini adalah Amerika Serikat dan Rusia. Tapi bukan berarti negara lain tak punya, atau minimal punya rencana membangunnya. Indonesia termasuk ke dalam kategori terakhir ini.
Dilansir dari berbagai sumber, catatan sejarah menunjukkan rencana pembangunan badan antariksa di Indonesia sudah dirintis sejak 1990-an ketika Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN) menerbitkan Studi Kelayakan Bandar Antariksa Ekuator Biak. Pada 2013, pemerintah menerbitkan Undang-Undang No. 21 Tahun 2013 tentang Keantariksaan. Beleid ini mengamanatkan LAPAN untuk membangun dan mengoperasikan bandar antariksa itu.
LAPAN idealnya memiliki program peluncuran Low Earth Orbit (LEO) dan mengoperasikan satelit observasi bumi untuk telekomunikasi dan navigasi. Nah, untuk itulah, LAPAN perlu memiliki bandar antariksa. Kalau menurut Naufal Muzakki Erfo Pradana dari IISIP Jakarta dan Yunita Permatasari dari LAPAN, dalam artikel mereka di jurnal KKPA terbaru, pembangunan bandar antariksa ini bisa menggandeng negara lain. Sebagaimana Jepang menggandeng Kazakhstan.
Nah, bandar antariksa di Biak nantinya akan mengisi kekurangan bandar antariksa yang berada di ekuator. Saat ini ada 22 bandar antariksa yang aktif, namun hanya dua yang dekat ekuator, yaitu Guiana Space Center milik Prancis yang digunakan bersama Uni Eropa, dan Alcantara Space Center milik Brasil. Bandar antariksa yang dekat dengan ekuator sangat ideal untuk peluncuran roket atau satelit ke LEO.
Kalau nanti bisa dibangun di Biak, maka pengiriman roket atau satelit dari fasilitas ini bakal menghemat bahan bakar roket sampai 5,5 persen. Naufal dan Yunita mengatakan, pembangunan bandar antariksa di Biak ini dapat menjadi bargaining power dalam diplomasi Indonesia.
Bagaimana dengan proses pembangunan bandar antariksa di Biak? Setidaknya harus melewati beberapa proses, terutama pembuktian kemampuan LAPAN mengembangkan roket dan satelit, yang sangat mutlak adanya.
Rupanya Perpres Nomor 45 Tahun 2017 sudah menyusun Rencana Induk dengan target lima tahunan, yang dibagi menjadi lima tahapan. Pertama: 2016-2020 di mana idealnya LAPAN menghasilkan: (1) roket tiga tingkat sampai diameter 550 mm; (2) prototipe roket kendali low altitude, high subsonic; (3) terlaksananya uji terbang roket cair noncryyogenic engine kelas gaya dorong 1000-2000 kgf dan roket sonda dengan muatan sensor atmosfer; dan (4) tersedianya fasilitas produksi dan pengujian komponen, subsistem, sistem roket sonda.
Tahapan Kedua: 2021-2025. Idealnya LAPAN berhasil menguasai teknologi roket untuk mengembangkan roket sonda altitude 300 km.
Ketiga, tahun 2026-2030: LAPAN dapat mengoperasikan roket sonda altitude 300 km dan terlaksananya rancang bangun teknologi roket pengorbit satelit mikro LEO.
Keempat, tahun 2031-2035: LAPAN menghasilkan prototipe roket pengorbit satelit mikro LEO.
Dan kelima, pada tahapan terakhir, terlaksananya peluncuran roket pengorbit satelit mikro LEO.
Pendanaan pembangunan bandar antariksa Biak akan datang dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), Non-APBN, Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD), Public Private Partnership (PPP), dan kedepannya kerja sama internasional. Banyak negara yang berminat. LAPAN sudah studi banding ke Jiuquan Satellite Launch Center, Tanegashima Space Center, dan Satish Dhawan Space Center. Tim Survei dari Amerika Serikat, Jepang, India, dan China juga sudah pernah ke Biak.
Semoga proses ini berjalan lancar dan akhirnya Indonesia akan memiliki bandar antariksa sendiri.
Be First to Comment