Di tengah tantangan global terhadap keberlanjutan pertanian, para peneliti dari Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) menyoroti pentingnya inovasi berbasis hayati dalam pengendalian hama. Salah satu pendekatan yang kini semakin relevan adalah penggunaan pestisida nabati, alternatif ramah lingkungan yang mendukung sistem pertanian organik.
Prof. Agus Kardinan, Peneliti Ahli Utama Pusat Riset Tanaman Perkebunan BRIN, mengingatkan kembali dampak Revolusi Hijau di era 1980-an. Saat itu, penggunaan pestisida sintetis begitu masif hingga disubsidi hingga 80 persen. “Penyemprotan bukan lagi sekadar mengendalikan hama, tapi seperti menyiram racun ke ladang. Panen memang berhasil, tapi lingkungan rusak, hama jadi resisten, dan residu beracun tertinggal di tanah, air, serta tanaman,” ujarnya, dilansir dari siaran pers BRIN.
Sebagai solusi, Agus mendorong pemanfaatan kekayaan hayati Indonesia. Tanaman seperti tembakau, mimba, akar tuba, cengkeh, serai, nilam, dan jeruk purut terbukti mengandung senyawa aktif yang mampu mengendalikan hama secara alami. Agus sudah meneliti dan memformulasikan berbagai pestisida nabati selama lebih dari 20 tahun. Beberapa sudah dipatenkan, digunakan di lapangan, bahkan diekspor ke Jepang.
Berbeda dari pestisida kimia yang membunuh langsung, pestisida nabati bekerja dengan cara mengganggu siklus biologis hama—memperlambat pertumbuhan, menghambat metamorfosis, dan menurunkan populasi. Salah satu contoh menarik adalah tanaman selasih yang menghasilkan metil eugenol, atraktan alami untuk lalat buah. Nilai ekonominya pun tinggi. “Metil eugenol bisa mencapai Rp1,2 juta per liter, padahal bahan bakunya tumbuh subur di pekarangan kita,” tambah Agus.
Agus juga mengajak peneliti muda untuk melangkah lebih jauh dari sekadar publikasi ilmiah. “Jadilah peneliti sekaligus pengusaha. Ilmu harus berlanjut ke hilirisasi dan komersialisasi agar benar-benar berdampak,” pesannya.
Sementara itu, Samsudin, Peneliti Ahli Utama BRIN, menekankan bahwa pengendalian hama dalam sistem organik memiliki tantangan tersendiri karena tidak menggunakan pestisida sintetis. “Kecepatan kerja pengendali hayati memang relatif lambat, sementara potensi serangan Organisme Pengganggu Tanaman (OPT) tetap tinggi. Karena itu, strategi pencegahan dengan teknologi ramah lingkungan sangat dibutuhkan,” jelasnya.
Ia memaparkan berbagai inovasi seperti biopestisida berbasis patogen serangga, atraktan alami, asap cair, serta minyak nabati dari mimba dan serai wangi. Teknik budidaya seperti rotasi tanaman, tumpangsari, dan sanitasi kebun juga terbukti efektif menekan populasi hama.
Lebih jauh, biopestisida dan agen hayati seperti jamur patogen serangga, nematoda, dan jamur antagonis merupakan bagian integral dari konsep Pengendalian Hama Terpadu (PHT). “Inovasi ini tidak hanya mengurangi ketergantungan pada bahan kimia, tetapi juga menjaga keanekaragaman hayati dan keberlanjutan ekosistem pertanian,” ujarnya. Menurutnya, teknologi pengendalian hayati harus menjadi arus utama, bukan sekadar alternatif.
Tak hanya soal hama, kualitas tanah juga menjadi fondasi penting dalam pertanian organik. Achmad Rachman dari Lembaga Sertifikasi Organik INOFICE menegaskan bahwa tanah sehat adalah titik awal keberhasilan sistem organik. “Pupuk organik yang berkualitas mampu memperbaiki struktur tanah, meningkatkan aktivitas mikroba, dan memperkuat ketahanan tanaman terhadap penyakit,” katanya.
Dengan pengelolaan tanah yang tepat, Indonesia memiliki peluang besar untuk mengembangkan produk organik yang kompetitif di pasar global. “Kesuburan tanah menentukan produktivitas dan kualitas hasil. Karena itu, pupuk organik dan pengelolaan terpadu menjadi sangat krusial,” pungkas Achmad.
Be First to Comment