Press "Enter" to skip to content
An aerial view of Anak Krakatau volcano during an eruption at Sunda strait in South Lampung, Indonesia, December 23, 2018 in this photo taken by Antara Foto. Antara Foto/Bisnis Indonesia/Nurul Hidayat/ via REUTERS

Dengan Arkeologi, Belajar dari Bencana di Masa Lalu

“Nasib” Bangsa Bahari yang tinggal di Nusantara dalam lingkungan “cincin api” dunia selalu lekat dengan bencana alam, seperti letusan gunungapi, gempa yang kadang disusul dengan tanah longsor atau tsunami, dan banjir yang semuanya di luar kuasa manusia. Adakah semua itu diketahui oleh nenek moyang kita para pendahulu penghuni daerah Cincin Api? Tentu saja tidak! Mereka bermukim di sembarang tempat di mana mereka pertama kali mendarat dari pelayarannya yang panjang.

Eh kok ya’o di tahun 2018 banyak banget kejadian bencana alam, mulai dari amok gunungapi, gempa bumi, tsunami, dan yang mutakhir likuefaksi. Mengenai istilah yang terakhir, sungguh mati ane baru denger. Misti diakui komunitas masyarakat yang mengalaminya jauh lebih tahu yang diterjemahkan dalam bahasa lokalnya. Dan ane yakin, di daerah-daerah yang kerap mengalami bencana alam, tentu terpatri istilah lokalnya dan ada juru kunci semacam mbah Marijan.

Hubungan Manusia dan Alam
Kajian mengenai hubungan antara lokasi situs-situs (yang merupakan indikator pemukiman) dan sumberdaya lingkungan dilandasi oleh perspektif ekologi yang memandang bahwa antara manusia (kebudayaan) dan lingkungan alamnya terjalin hubungan yang saling berinteraksi dalam satu sistem yang kompleks.

Pandangan ekologis semacam itu sudah tentu sangat berbeda dengan pandangan environmental determinism terdahulu yang memandang bahwa manusia (kebudayaan) dan lingkungan alamnya adalah dua ‘dunia’ yang terpisah, dan faktor lingkungan alam dianggap berpengaruh secara langsung terhadap manusia (dan kebudayaannya) dalam hubungan kausalitas yang sederhana dan linier.

Situs-situs arkeologi dengan tinggalan budayanya merupakan indikator pemukiman. Situs-situs menunjukkan berbagai aktivitas manusia, maka lokasi tempat keberadaannya dapat memberikan gambaran tentang lingkungan alam dan teknologinya. Dalam beberapa hal, lokasi situs-situs juga merefleksikan tipe-tipe situs.

Berdasarkan fungsi dan jenis aktivitasnya, situs-situs arkeologi dapat dibedakan menjadi situs habitasi, situs perburuan, situs penambangan, situs perbengkelan, situs perdagangan, situs seremonial, dan situs penguburan. Dengan demikian terdapat toleransi antara tipe situs di satu pihak dan lokasi situs di pihak lain.

Lokasi situs dapat ditentukan perilaku individual manusia dengan mempertimbangkan berbagai faktor yang mempengaruhinya. Faktor-faktor yang berhubungan dengan kondisi lingkungan dianggap merupakan salah satu faktor penting dalam pemilihan lokasi situs. Di samping itu ada juga faktor-faktor lain, misalnya faktor pertahanan dan keamanan, faktor ekonomi, serta faktor politis.

Kerangka landasan bagi menciptakan dan membuat manusia menjadi tergantung pada dan merupakan sebagian dari lingkungan alamnya, adalah kebudayaan. Hubungan antara kegiatan manusia dan lingkungan alamnya dijembatani oleh pola-pola kebudayaan yang dimiliki manusia. Dengan menggunakan kebudayaan inilah manusia menyesuaikan diri dengan lingkungan alamnya, dan dalam proses menyesuaikan diri ini manusia mendayagunakan lingkungannya agar tetap dapat melangsungkan kehidupannya. Dari lingkungan diperolehnya makanan untuk bertahan hidup dengan jalan mengubah dan mengolah lingkungannya. Dengan demikian, antara manusia dan lingkungannya terdapat interaksi, seperti juga terdapat interaksi dan interrelasi antara berbagai unsur suatu ekosistem.

Lingkungan alam dapat mempengaruhi corak kebudayaan manusia. Masyarakat di daerah pedalaman adalah masyarakat yang bersifat agraris, yang kehidupannya tergantung kepada tanah-tanah pertanian yang subur dan dekat dengan aliran sungai sebagai sumber air untuk irigasi tanah-tanah pertanian, misalnya masyarakat Matarām (Mdaŋ), Majapahit, dan Pajang; masyarakat yang selalu berperang akan mencari tempat-tempat yang strategis untuk bertahan dan menyerang; dan masyarakat di daerah pesisir dan tepian sungai adalah masyarakat yang bersifat maritim yang kehidupannya tergantung kepada pelayaran dan perdagangan, misalnya Kesultanan Kutai dan Sambas di Kalimantan, Kesultanan Makassar di Sulawesi, Kesultanan Ternate, Tidore di Maluku. Namun ada juga yang kehidupan masyarakatnya dalam hal mata pencaharian bersifat maritim dan agraris, misalnya Mālayu dan Majapahit. Di dalam kedua kerajaan ini ada tanah-tanah pertanian yang luas di daerah pedalaman yang subur, dan ada kota-kota pelabuhannya tempat memasarkan hasil-hasil pertanian dan hasil buminya.

Megatsunami
Sebuah penelitian arkeologi maritim di daerah Pulau Seram dan Ambon berhasil mengidentifikasi sisa pemukiman kuno di daerah pesisir tetapi menempati lahan pada daerah ketinggian 100 – 200 meter d.p.l. Padahal idealnya pemukiman tersebut dapat menempati daerah yang datar di tepian pantai. Berdasarkan temuan keramiknya, situs ini diduga berasal dari sekitar abad ke-12-14 Masehi, jauh sebelum kedatangan orang-orang Eropa ke Ambon. Keadaan ini menimbulkan pertanyaan, mengapa kelompok masyarakat yang mendiami kedua pulau tersebut atau mungkin juga pulau lain di sekitarnya, mendiami lahan di ketinggian tersebut? Pertanyaan ini dapat terjawab manakala ditemukan sebuah catatan rinci tentang apa yang pernah terjadi di masa lampau.

“Lonceng-lonceng di Kastel Victoria di Leitimor, Ambon, berdentang sendiri. Orang berjatuhan ketika tanah bergerak naik turun seperti lautan. Begitu gempa mulai menggoyang, seluruh garnisun kecuali beberapa orang yang terperangkap di atas benteng, mundur ke lapangan di bawah benteng, menyangka mereka akan lebih aman. Akan tetapi, sayang sekali tidak seorangpun menduga bahwa air akan naik tiba-tiba ke beranda benteng. Air itu sedemikian tinggi hingga melampaui atap rumah dan menyapu bersih desa. Batuan koral terdampar jauh dari pantai”.

Itulah kutipan dari catatan harian Georg Eberhard Rumphius (Ambon, 1627 –15 Juni 1702)–seorang  naturalis Belanda kelahiran Jerman yang tinggal di Ambon– yang disebutkan sebagai Tragedi Tanggal 17 Februari 1674. Itulah gempa bumi yang kemudian disusul tsunami dahsyat dengan menewaskan 2.322 orang di Pulau Ambon dan Seram. Isteri dan anak dari Rumphius pun menjadi korban tsunami. Suatu jumlah korban jiwa yang sangat besar untuk masa itu!

Rumphius mengisahkan kondisi desa-desa di Ambon dan Seram yang hancur akibat peristiwa itu. Hila di dekat Hitu (pesisir utara Ambon) disebut Rumphius sebagai daerah yang paling menderita. Sedikitnya ada 13 desa yang dituliskan Rumphius yang terkena dampak kejadian itu. Apalagi di daerah pesisir itu sebagian besar pusat kegiatan perdagangan Pulau Ambon mengambil lokasi di situ. Pada masa itu Hitu merupakan pelabuhan terbesar sebelum pelabuhan kota Ambon.

Mengapa banyak korban yang jatuh? Jauh sebelum penduduk pulau Ambon dan Seram tinggal di daerah pantai, berdasarkan tinggalan budaya sisa pemukiman kuno, penduduk tinggal di lereng-lereng bukit pada ketinggian 100 – 200 meter d.p.l. Namun ketika VOC menduduki Ambon, untuk memudahkan pengawasan penduduk yang tinggal di lereng-lereng bukit diminta tinggal di daerah pantai. Padahal, jauh sebelumnya nenek moyang orang Ambon sudah memilih tempat yang aman untuk hidup. Boleh jadi, jauh sebelum gempa dan tsunami 1674 di daerah itu pernah terjadi tsunami. Oleh sebab itu mereka menempatkan pemukimannya di daerah yang tinggi.

Entah karena sudah kadung tinggal di pesisir pantai yang landai, mereka tetap bertempat tinggal di situ. Kejadian yang pernah membuat korban dan trauma nenek moyangnya bukan menjadi pelajaran, sampai akhirnya pada 8 Oktober 1950 terjadi lagi tsunami, tetapi dalam skala yang lebih kecil jika dibandingkan megatsunami 1674. Sebelum itu, antara tahun 1674 dan 1950, Ambon kerap terjadi tsunami. Namun yang paling dahsyat adalah pada 8 Oktober 1950 silam, atau 276 tahun setelah Tragedi Tanggal 17 Februari 1674.

Likuefaksi
Entah saya yang kurang bacaan atau pengetahuan, bencana alam di Palu dan Donggala muncul sebuah istilah, yaitu likuefaksi yang artinya “tanah bergerak”. Saat terjadinya likuefaksi, terjadi kenaikan dan penurunan muka tanah. Likuefaksi terjadi setelah gempa, tanah di daerah itu tidak lama kemudian berubah jadi lumpur yang dengan segera menyeret bangunan-bangunan di atasnya. Digambarkan gerakannya seperti gelombang di laut yang mengombang-ambingkan kapal, dan kalau di darat menelan rumah dan kampung. Di Balaroa banyak rumah beserta isi dan penghuninya amblas, bagai terisap ke dalam tanah.

Kejadian likuefaksi diduga sudah berlangsung lama dan dialami oleh penduduk. Hal ini diindikasikan adanya istilah lokal untuk menyebut kejadian alam itu yang dalam Bahasa Kaili adalah nalodo. Di Behoa yang terdapat situsnya oleh penduduk disebut halodi yang artinya “terbenam”. Dapat dibayangkan kalau tergulung ombak di laut orang misih dapat meloloskan diri, sementara itu kalau tergulung nalodo bagaimana dapat menyelamatkan diri. Sementara itu istilah untuk menyebut tsunami adalah bomba talu.

Kejadian likuefaksi dan tsunami di daerah Palu dan Donggala sudah berlangsung lama, sejalan dengan sejarah hunian manusia di daerah itu. Karena itulah di lingkungan masyarakat terpatri di benak mereka tentang kejadian-kejadian alam tersebut. Bagaimana tidak kalau kedua atau ketiga bencana alam di daerahnya sudah berlangsung lama dan berkali-kali memakan korban jiwa.

Sadar nape?
Kapan anak Bangsa Bahari ini mau sadar bahwa mereka tinggal di daerah rawan bencana? Lihatlah orang Aceh ketika air laut surut jauh ke tengah, bukannya lari ke tempat tinggi malah lari ke tengah laut. Kalau menyadari akan perilaku laut tentunya mereka lari ke darat seperti saudaranya di Pulau Simeulue yang biasa kena tsunami kecil-kecilan. Dalam bahasa lokal mereka menyebut dengan istilah Ijma. Ketika megatsunami 2004 terjadi, orang Simeulue tidak ada yang mati.

Daerah Maluku mulai dari utara (Halmahera) hingga selatan (Kepulauan Banda) merupakan daerah rawan bencana gempa yang bisa disusul dengan tsunami. Daerah tersebut termasuk daerah yang paling labil karena merupakan daerah tempat bertemunya dua Circum (busur), yaitu Busur Pasifik dan Busur Mediterania. Sejak kita belajar ilmu bumi, encik dan engku guru kita ngasih tahu bahwa di daerah Banda terdapat palung laut yang dalam. Entah apakah murid-murid sekolah di daerah Maluku diajari atau tidak mata pelajaran itu. Seharusnya orang Maluku tahu, bahwa pengetahuan itu menyangkut hidup mati mereka. Bencana longsornya palung laut bisa menimbulkan gempa dan tsunami.

Melalui kajian arkeologi dan sejarah, juga ceritera rakyat tentang bencana, atau juru kunci semacam mbah Marijan, semua itu merupakan semacam early warning. Itu semua jangan dianggap remeh “Ah cuma hasil penelitian”, “Ah itu cuma cerita rakyat doang”, “Ah itu cuma omongan juru kunci”. Orang semacam mbah Marijan bukan orang sakti, tetapi beliau orang arif yang paham akan lingkungan alam tempatnya hidup. Tidak mustahil di tempat-tempat yang sering dilanda tsunami juga ada orang arif yang mengerti lingkungan tempatnya hidup.

Akhirulkalam, tahun 2019 ini marilah kita belajar dari arkeologi dan sejarah untuk memperbaiki kehidupan kita di masa mendatang. Hasil-hasil penelitian dapat dimanfaatkan untuk perbaikan di masa depan, bukan cuma jadi bahan ajar oleh para dosen yang pernyataannya cuma ada di awang-awang.

Bambang Budi Utomo
Peneliti di Pusat Penelitian dan Pengembangan Arkeologi Nasional

Be First to Comment

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Mission News Theme by Compete Themes.