Press "Enter" to skip to content
Bulan (dok. geralt/pixabay)

Langit Indonesia Disapa Bulan Merah Darah

Langit malam Indonesia pada 7–8 September 2025 baru saja menghadirkan salah satu pertunjukan alam paling dramatis: Gerhana Bulan Total (GBT), atau yang lebih populer disebut Blood Moon. Selama 82 menit—salah satu durasi terlama dalam sepuluh tahun terakhir—purnama berubah menjadi bola merah bercahaya redup, menghipnotis siapa pun yang menatapnya.

Fenomena ini terjadi ketika Bumi tepat berada di antara Matahari dan Bulan. Bayangan Bumi menutupi permukaan Bulan sepenuhnya, namun alih-alih lenyap dalam kegelapan, purnama justru bersinar merah.

Mengapa Bulan Jadi Merah?

Menurut Prof. Thomas Djamaluddin, Peneliti Ahli Utama BRIN bidang Astronomi dan Astrofisika, rahasianya ada pada atmosfer Bumi. Saat cahaya Matahari melewati atmosfer, warna biru tersebar ke segala arah (fenomena yang juga membuat langit siang tampak biru). Yang tersisa hanyalah cahaya dengan gelombang lebih panjang—merah dan oranye—yang kemudian dibelokkan menuju Bulan.

“Alih-alih menjadi gelap, purnama justru berubah warna jadi memerah,” jelas Thomas. “Hanya cahaya merah yang mencapai Bulan karena warna lain telah dihamburkan oleh atmosfer Bumi,” tambahnya.

Berbeda dengan fenomena astronomi lain yang butuh teleskop, GBT 2025 bisa disaksikan langsung dengan mata telanjang dari seluruh wilayah Indonesia. Tentu, bagi pecinta astrofotografi, teleskop atau kamera membuat momen ini semakin magis.

Gerhana ini berlangsung melalui beberapa fase:

Penumbral: bayangan samar yang hampir tak terlihat.

Gerhana sebagian: ketika sebagian permukaan Bulan mulai tergerus bayangan Bumi.

Gerhana total: puncaknya, saat Bulan sepenuhnya tertutup bayangan dan memerah dramatis.

Lalu perlahan kembali ke fase awal.

Setiap tahap menghadirkan sensasi visual berbeda, layaknya babak-babak dalam sebuah teater kosmik.

Thomas menekankan bahwa gerhana bukan hanya tontonan langit, tetapi juga kesempatan belajar tentang mekanika langit. “Fenomena ini menunjukkan keteraturan orbit Bulan mengitari Bumi dan Bumi bersama Bulan mengitari Matahari. Bahkan, bentuk lengkung bayangan Bumi di permukaan Bulan adalah bukti sederhana bahwa Bumi itu bulat, bukan datar,” ujarnya.

GBT kali ini bisa diamati dari Asia, Australia, Afrika, hingga sebagian Eropa. Namun, hanya Indonesia dan negara-negara Asia Tenggara serta Asia Timur yang beruntung menyaksikan seluruh rangkaian gerhana dari awal hingga akhir. Benua Amerika tak kebagian sama sekali, karena saat itu masih siang hari.

Be First to Comment

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Mission News Theme by Compete Themes.