Di masyarakat nusantara sejak ribuan tahun yang lalu sudah ada hubungan yang mendalam antara langit dan kebudayaan. Jejak-jejak hubungan ini dipelajari dalam sebuah cabang ilmu yang disebut arkeoastronomi.
Studi arkeoastronomi menunjukkan bagaimana nenek moyang memanfaatkan fenomena astronomi untuk navigasi, pertanian, dan praktik keagamaan, serta bagaimana pengaruh berbagai budaya luar membentuk warisan unik di tanah air.
Selain situs terkenal seperti Candi Borobudur dan Prambanan yang dibangun selaras dengan posisi Matahari dan Bulan, sejumlah peninggalan arkeoastronomi lain di Indonesia turut menyoroti kearifan lokal dalam memahami langit.
“Kedua candi tersebut terbukti dibangun berdasarkan keselarasan dengan Matahari dan Bulan. Ini membuktikan kecerdasan nenek moyang kita karena membangun candi tidak bisa sembarangan, perlu persiapan yang matang,” jelas Irma Indriana Hariawang, alumni Astronomi Institut Teknologi Bandung, dalam keterangannya.
Misalnya, Bejana Zodiak yang ditemukan di Pasuruan menjadi bukti peradaban yang memetakan konstelasi bintang dalam budaya mereka. Kini, artefak ini dipamerkan di Museum Nasional Indonesia sebagai saksi sejarah astronomi kuno di Nusantara.
Di Kalimantan Timur, Suku Kenyah Dayak menggunakan alat bernama Gnomon — sebuah instrumen sederhana tapi efektif — untuk mengamati posisi Matahari dan menentukan waktu serta musim yang penting bagi kehidupan mereka. Sementara itu, Bencet, sebuah artefak dari Jawa Tengah, juga mencerminkan keterikatan masyarakat dengan pergerakan benda langit yang dijadikan panduan sehari-hari.
Penggunaan kalender tradisional seperti Pranoto Mongso di Jawa yang berdasarkan gerak Matahari, serta Kalender Saka, menunjukkan bagaimana astronomi diintegrasikan ke dalam sistem pertanian dan ritual masyarakat. Penentuan arah kiblat yang dipengaruhi oleh pengamatan langit juga menandai akulturasi budaya astronomi dari Arab yang menyatu dalam tradisi lokal.
Jejak arkeoastronomi ini tidak hanya menjadi warisan sejarah, tetapi juga sumber potensial untuk pengembangan astrowisata. Penemuan dan pelestarian situs serta artefak-artefak ini membuka peluang bagi wisata edukatif yang menghubungkan ilmu pengetahuan, budaya, dan teknologi modern.
Untuk menggali lebih jauh, diperlukan riset interdisipliner dan dukungan institusi pendidikan agar studi arkeoastronomi bisa terus berkembang. Integrasi teknologi seperti Machine Learning dan Virtual Reality pun menawarkan cara baru dalam menafsirkan dan menyajikan peninggalan astronomi masa lalu, sehingga masyarakat dapat menghargai sekaligus belajar dari kebijaksanaan leluhur yang memandang langit sebagai bagian tak terpisahkan dari kehidupan.
Jejak arkeoastronomi di Indonesia membuktikan bahwa sebelum era modern, langit sudah menjadi panduan utama sekaligus sumber inspirasi yang kaya bagi masyarakat Nusantara, menyingkap cara mereka memahami alam semesta dalam konteks budaya dan kehidupan sehari-hari.
Be First to Comment