Baru-baru ini Indonesia diramaikan pernyataan musikus Anji yang dianggap meremehkan bahaya COVID-19. Sebelumnya ada beberapa artis yang dinilai bersikap kurang lebih sama, seperti Deddy Corbuzier, Jerinx, dan sebagainya. Di luar negeri juga banyak tokoh-tokoh yang meremehkan COVID-19 atau menganggapnya hanya konspirasi.
Tapi faktanya, angka kematian maupun penderita positif COVID-19 tak kunjung berkurang. Di Indonesia, sampai kemarin, COVID-19 sudah menjangkiti 88.214 orang dan angka korban meninggal mencapai 4.239 orang. Sedangkan yang sembuh mencapai 46.977 orang. Di dunia, COVID-19 telah menjangkiti 14.508.892 orang di mana sebanyak 606.206 orang meninggal dunia.
Apakah bagi penolak bahaya COVID-19 angka-angka itu sekadar statistik? Mengapa ada orang-orang yang bersikap seperti itu?
Sebenarnya, bukan hanya topik soal COVID-19 yang membuat sikap orang terbelah. Soal Bumi bulat atau bumi datar sudah membelah sikap manusia selama berabad-abad. Atau pemanasan global, yang oleh sebagian orang hanya dianggap permainan negara-negara tertentu. Vaksin juga ditolak sebagian orang karena dianggap haram atau tak aman bagi tubuh manusia.
Itu namanya fenomena denial atau penyangkalan. Menurut Live Science, denial muncul ketika minat atau pandangan ideologis seseorang terancam. Dalam praktiknya, identitas politik, agama, atau etnis seseorang cukup efektif untuk memprediksi apakah seseorang bisa menerima atau menolak isu tertentu.
Sebuah studi tahun 2015 tentang perubahan iklim mendapati bahwa polarisasi ideologi terhadap isu perubahan iklim akan meningkat seiring meningkatnya pengetahuan politik, sains, maupun kebijakan energi. Seorang konservatif, makin dia berpendidikan tinggi, makin besar peluangnya menolak isu perubahan iklim. Tapi penyangkalan bukan cuma masalah orang konservatif lho. Orang liberal juga cenderung menolak konsensus hipotesis mengenai penyimpanan limbah nuklir yang aman.
Tapi denial itu alami. Menurut arkeologi, kemampuan manusia melakukan rasionalisasi adalah produk adaptasi selama ribuan tahun. Nenek moyang kita berevolusi dalam kelompok-kelompok kecil, di mana kerja sama dan persuasi dihubungkan dengan keberhasilan reproduksi. Asimilasi seseorang ke dalam kelompok lain memerlukan asimilasi ke dalam sistem kepercayaan ideologis kelompok itu, entah itu fakta atau takhayul. Walau kadang bias, secara naluriah seseorang akan mendukung kelompoknya.
Perasaan diri seseorang sangat erat terkait dengan status dan kepercayaan kelompok identitasnya. Maka tidak mengherankan jika orang merespons secara otomatis dan defensif terhadap informasi yang mengancam pandangan kelompok mereka. Ancaman terhadap sistem yang sudah mapan juga memicu pemikiran yang kaku. Misalnya, populasi yang mengalami kesulitan ekonomi atau mengalami ancaman eksternal, akan cenderung memilih pemimpin otoriter yang menjanjikan keamanan dan stabilitas.
Prasangka juga dapat memengaruhi keyakinan faktual seseorang. Semakin jauh kita mendefinisikan diri pada afiliasi budaya, keterikatan dengan status sosial atau ekonomi, maka informasi yang mengancam sistem kepercayaan dapat mengancam akal sehat kita. Jika ada pemimpin politik atau media partisan memberi tahu kamu bahwa COVID-19 itu hanya konspirasi maka informasi faktual yang bicara sebaliknya dapat terasa seperti serangan pribadi.
Fenomena penyangkalan banyak dan beragam. Tetapi kisah di belakangnya cukup sederhana. Kognisi manusia tidak dapat dipisahkan dari respons emosional bawah sadar yang menyertainya.
Be First to Comment