Sebuah mumi ditemukan di Deir el-Bahari di dekat Luxor, Mesir, pada 1935. Oleh para ilmuwan, mumi itu disebut “Wanita yang Menjerit” sebab saat ditemukan posisi mulutnya menganga. Baru-baru ini, dalam sebuah penelitian terbaru, disebut bahwa perempuan yang dijadikan mumi itu meninggal dalam rasa sakit yang amat sangat, otot-ototnya menjadi kaku, membekukan teriakan terakhir sampai ditemukan 3.500 tahun kemudian.
Dilansir dari Live Science, penelitian terbaru ini diterbitkan di jurnal Frontiers in Medicine, edisi 2 Agustus yang lalu.
Para peneliti juga menemukan bahwa wanita itu telah dibalsem dengan zat impor yang mahal dan semua organnya berada di dalam tubuhnya, yang menunjukkan cara pengawetan yang unik.
Para arkeolog menemukan mumi “Wanita yang Menjerit” itu saat menggali makam Senenmut, seorang arsitek terkemuka dan pejabat pemerintah yang dikabarkan menjadi kekasih rahasia Ratu Hatshepsut. “Wanita yang Menjerit” itu dimakamkan di ruang pemakaman di dekatnya dan kemungkinan besar merupakan anggota keluarga dekat Senenmut.
Mumi itu dihiasi dengan wig hitam dan dua cincin scarab. Rambut aslinya telah diwarnai dengan henna dan juniper.
Mikroskop elektron menemukan bahwa wig itu terbuat dari pohon kurma. Dari uji difraksi sinar-X menunjukkan bahwa wig itu mengandung campuran kristal kuarsa, magnetit, dan albite, yang kemungkinan dapat membuat rambut menjadi kaku dan memberi warna hitam pada rambutnya. Pada masa lalu di Mesir, wig umumnya digunakan untuk keperluan pemakaman dan dalam kehidupan sehari-hari.
“Mumifikasi di Mesir kuno masih penuh dengan rahasia,” kata salah satu penulis studi itu, Sahar Saleem, seorang ahli radiologi mumi di Rumah Sakit Kasr Al Ainy, Universitas Kairo, kepada Live Science. Organ yang utuh biasanya merupakan tanda mumifikasi yang buruk atau terabaikan, tetapi mumi “Wanita yang Menjerit” itu terawetkan dengan sangat baik.
Rahasia pengawetannya kemungkinan terletak pada pembalsamannya yang mewah. Dengan menggunakan spektroskopi inframerah, mereka menemukan jejak resin juniper dan kemenyan, yang merupakan produk mewah yang kemungkinan diimpor ke Mesir dari Mediterania Timur dan Afrika Timur atau Arab Selatan. Resin dan kemenyan mencegah tubuh dari pembusukan yang disebabkan oleh bakteri dan serangga.
Ini bukan satu-satunya mumi yang ditemukan dengan ekspresi menjerit. Mumi Pangeran Pentawere (1173 hingga 1155 SM) dan Putri Meritamun (1525 hingga 1504 SM) juga ditemukan dengan mulut terbuka.
Mulut terbuka terjadi saat otot-otot ini mengendur saat tidur atau saat membusuk setelah kematian. Agar mulut jenazah tetap tertutup, pembalsem sering kali melilitkan rahang bawah di sekeliling tengkorak. Namun, kasus perempuan itu berbeda.
Mulut menganga itu disebabkan oleh kematian yang menyakitkan. Ekspresi wajah mumi yang menjerit dalam penelitian ini dapat diartikan sebagai kejang kadaver, yang menyiratkan bahwa wanita itu meninggal sambil menjerit karena kesakitan. Kejang kadaver terjadi saat otot-otot berkontraksi beberapa saat sebelum kematian, yang menyebabkannya menjadi kaku. Kondisi ini dapat terjadi dalam kasus-kasus seperti kematian karena penyerangan, bunuh diri, atau tenggelam.
Tidak seperti penyebab kematian dua mumi lainnya, di mana Pentawere meninggal karena bunuh diri dan Meritamun karena serangan jantung, pemindaian tomografi terkomputasi (CT) pada “Wanita yang Menjerit” sayangnya tidak mengungkapkan penyebab kematiannya.
Dari gambar 2D dan 3D dari pemindaian CT dapat menjelaskan tinggi, usia, dan kondisi medis wanita tersebut, yang menunjukkan bahwa tingginya sekitar 1,5 meter. Sendi di antara kedua tulang panggulnya, yang berubah seiring bertambahnya usia manusia, menunjukkan bahwa usianya sekitar 48 tahun saat meninggal.
Tulang-tulang di tulang belakangnya juga menunjukkan bahwa ia mungkin menderita radang sendi ringan. Wanita tersebut kehilangan beberapa gigi, yang kemungkinan besar tanggal tepat sebelum meninggal dan itu ditunjukkan oleh soket gigi yang belum sembuh.
Mumi “Wanita yang Menjerit” itu tersimpan di Egyptian Museum di Cairo. Sementara peti mati dan cincinnya dipajang di The Metropolitan Museum of Art di New York City.
Be First to Comment